Ringkasan Feminisme Posmodern


Feminisme Posmodern
Rahmat Adianto
N1D116034

Feminisme Postmodern mengundang setiap perempuan yang berefleksi dalam tulisannya untuk menjadi feminis dengan cara yang diinginkannya. Feminis Anglo amerika, pada awalnya, mengacu kepada feminisme posmodern sebagai “feminisme Prancis” Karena kebanyakan pendukung feminisme posmodern adalah warga negara Prancis atau perempuan yang tinggal di Prancis (terutama Paris). Ketika audiens Inggris dan Amerika menyadari bahwa “feminisme Prancis” bukan semata-mata “keprancisan” mereka, melainkan pesrpektif filosofi mereka, para feminisme Inggris dan Amerika kemudian mulai menganggap feminisme Prancis sebagai feminisme posmodern.
            Audiens Inggris dan Amerika masih mempertahankan pandangan yang agak kaa terhadap feminisme fosmodern karena penerjemahan awal dari tulisan feminis posmodern yang sangat sedikit dan selektif. Bahkan jika berpendapat bahwa semua feminis posmodern tertarik kepada teori feminis dengan cara meminggirkan prakek feminis adalah salah, harus diakui bahwa kebanyakan feminis posmodern sangatlah piawai salam bidang teori. Karena feminis posmodern besikeras bahwa tujuan mereka adalah menulis sesuatu yang baru tentang perempuan.
Feminis Posmodern memanfaatkan pemahaman Beuavoir mengenai ke-Liyanan dan kemudian memumutarbalikannya. Perempuan masih merupakan Liyan, tetapi alih-alih menafsirkannya sebagai kondisi yang harus ditransendensi, feminis posmodern justru mengambil manfaatnya. Kondisi ke-Liyanan memungkinkan peremuan mengambil jarak dan mengiritisi norma, nilai, dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh kebudayaan dominan (partiarki) terhadap semua orang, termasuk perempuan. Karena itu, ke-Liyanan, bersama segala keterkaitanya dengan opresi dan inferioritas. Ke-Liyanan juga merupakan cara ber-Ada, cara berpikir, dan cara bertutur yang memungkinkan adanya keterbuka, pluralitas, keragaman, dan perbedaan.
Sedapat-dapatnya, feminis modern menantang batasan arbitrer antara konsep seperti rasio dan emosi, nalar dan tubuh, serta diri dan Lyan, dan juga batasan-batasan yang tidak jelas antara seni dan ilmu pengetahuan, psikologi dan biologi, serta sastra dan filsafat. Begitu paripurna pemikiran anti-esensialisme dari para dekonsturuksionis sehingga mereka dapat juga mempertanyakan dua asumsi dasar pemikiran Barat; yaitu, bahawa tidak ada kesatuan esensial dalam ruang dan waktu yang diistilahkan sebagai identitas Diri, dan bahwa ada hubungan esensial antara bahasa dan realitas yang dinamai kebenaran. Feminis posmodern juga menentang gagasan diri yang menyatu (unified) dan terintegrasi (intergrated) dengan mengacu pada ide bahwa diri pada dasarnya terpecah, antara dimensi kesadaran dan dimensi ketidaksadaran. Feminis Posmodern juga menentang gagasan kebenaran dengan mengacu pada ide bahwa bahasa dan ralitas adalah variabel, dapat bertukat tempat, dan saling membutuhkan satu sama lain dalam aluran Heractitean.
Tiga tahapan yang membuat tunduk pada “tatanan ayah”, yaitu; tahap pertama, fase pra-Oedipal – juga disebut fasa imajiner, yang merupakan balikan dari tatanan simbolik – seorang bayi sama sekali tidak menyadari egonya. Dalam fase kedua, fase cermin (yang juga bagian dari fase imajiner), bayi berpikir bahwa citra dirinya, seperti refleksi melalui “cermin” pandangan ibunya, adalah dirinya yang sesungguhnya. Fase ketiga, fase Oedipal, termasuk periode ketika ketersaingan antara sang ibu dan bayi, sejalan dengan perkembangan sang bayi menuju dewasa.
Berkenaan dengan anatomi, anak perempuan tidak dapat sepenuhnya mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya dalam drama psikoanalisis. Hasilnya, anak perempuan tidak dapat sepenuhnya menerima dan menginternalisasi tatanan simbolik. Dari situasi ini, kita dapat menarik satu dari dua kesimpulan. Di sisi satu, kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan disingkirkan dari tatanan simbolik dan dikucilkan pada bagian margin. Hal ini tampaknya merupakan gagasan Freud jetuja ia menyatakan bahwa karena anak perempuan tidak melalui kompleks kastrasi sebagaimana anak laki-laki, rasa normal anak perempuan tidak berkembang sepenuhnya. Di sisi lain, kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan direpresi dalam tatanan simbolik, dan dipaksa untuk tunduk dalam tatanan di luar keinginannya. Karena perempuan menolak untuk menetralisasi “Hukum Ayah,” hukum ini harus diberikan kepada laki-laki: yaitu bahasa maskulin.
Seperti Freud, Lacan tidak  dapat menemukan ruang yang nyaman bagi perempuan dalam kerangka berpikir ini. Karena perempuan tidak dapat secara menyeluruh menyelesaikan kompleks Oedipalnya, perempuan tetap berada di luar tatanan simbolik, di luar nalar dan bahasa.
Derrida mengkritisi tiga aspek dalam tatanan simbolik; (1) logosentrisme, keutamaan bahasa lisan, yang kurang tunduk terhadap interpretasi daripada tulisan; (2) Falosentrisme, keutamaan falus, yang mengkonotasikan suatu dorongan uniter terhadap satu tujuan yang dianggap dapat dicapai; (3) dualisme, ekspresi yang menempatkan segala sesuatu dalam oposisi biner. Derrida menawarkan istilah difference untuk menggambarkan kesenjangan antara realitas dan bahasa yang membingungkan kita. Feminis modern dengan cepat mengapropriasi istilah baru ini. Mereka berpendapat bahwa jika mereka harus menyetujui sesuatu, mereka menyetujui bahwa perempuan, Liyan, faminin, telah dibiarkan tidak ditemakan dalam bisu dalam kehamaan antara bahasa dan realitas, dan waktunya telah tiba bagi perempuan untuk keluar dari kedalaman ini.
Menurut Cixous, setiap dikotomi ini terinspirasi dari oposisi laki-laki dan perempuan yang mengasosiasikan laki-laki dengan segala sesuatu yang aktif, kultural, terang, tinggi, atau sacara umum positif, sementara perempuan diasosiasikan dangan segala sasuatu yang pasif, alami, gelap, rendah, atau secara umum negatif. Lebih jauh lagi, istilah laki-laki-perempuan menunjukkan bahwa istilah kedua mengacu atau menyimpang dari istilah pertama. Laki-laki adalah Diri, perempuan adalah Liyan.
Irigaray mengkalim bahwa jika perempuan ingin mengalami dirinya sebagai sasuatu yang lebih dari sekadar “sampah” atau “ekses” dalam margin yang tersruktur sangat kecil dalam dunia laki-laki, tiga bagian tindakan tersedia bagi perempuan. Pertama, perempuan dapat mencipatakan bahasa perempuan dengan menghindari bahasa laki-laki. Kedua, perempuan dapat menciptakan bahasa perempuan. Ketiga, dalam usaha menjadi dirinya sendiri, perempuan dapat meniru tiruan yang dibebankan laki-laki kepada perempuan.
Tidak seperti Cixous dan Irigaray, Kristeva menentang indentifikasi “feminin” dengan perempuan biologis, dan “maskulin” dengan laki-laki biologis. Ia beranggapan bahwa seorang anak memasuki tatanan simbolik, si anak dapat mengidentifikasikan diri dengan ibu atau ayahnya. Bergantung pada pilihan yang diambilnya. Seorang anak dapat menjadi kuarang atau lebih “feminin” atau “maskulin”. Walaupun Kristeva mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai identitas seksual yang berbeda, tidak berarti ia berpendapat bahwa identitas ini dimanifestasikan dengan cara  yang sama oleh setiap “perempuan” dan “laki-laki”.
Menarik garis kontras antara feminsme egalitarian, di satu sisi, dengan sisi apa yang disebut feminis perbedaan, di sisi lain, Grosz mengimplikasikan bahwa feminis perbedaan berusaha untuk menghindarikan devolusi feminim menjadi humanisme dan “peleburan” [kembali] perempuan menjadi laki-laki. Feminis perbedaan, terutama feminis posmodern, merayakan tubuh perempuan, ritme reproduksi, dan organ seksual. Interpretasi Grosz atas feminis posmodern jauh lebih simpatik daripada pembaca lain. Jika Grosz berpendapat bahwa feminis perbedaan melihat perbedaan “tidak sebagai perbedaaan dari norma yang telah ada, tetapi lebih merupakan perbadaan yang murni, perbedaan itu sendiri, perbedaan yang tidak beridentitas, para pengritik feminis modern mengklaim bahwa jika kebenaran dapat diberitakan, feminis perbedaan menggunakan istilah difference dengan cara yang “esensialis”.
Bagi de Lautetis, hubungan jenis kelamin (betina)/gender (feminin) adalah sedemikian rupa hingga hingga gender bukanlah suatu prosesi yang tidak bermasalah dari jenis kelamin yang sudah ditentukan, dan gender juga bukan suatu konstruksi imajiner yang murni arbitrer. Sebaliknya, gender adalah “produk dan proses dari sejumlah teknologi sosial” yang “menciptakan matriks perbedaan dan melitnasi jumlah bahasa apapun”



Komentar

Postingan Populer