Ringkasan Feminisme Multikutural dan Global


Feminisme Multikutural dan Global

Rahmat Adianto
N1D116034

Ada banyak kesamaan antara feminisme multikultural dan feminisme global. Keduanya menentang “esensialisme perempuan”, yaitu pendangan bahwa gagasan tentang “perempuan” ada sebagai bentuk platonikk, yang seolah setiap perempuan, dengan darah dan daging sesuai dalam kategori itu. Kedua pandangan feminisme ini menafikan “Chauvinisme Perempuan”, yaitu kecenderingan dari segelintir perempua, yang diuntungkan karena ras atau kelas, misalnya, untuk berbicara atas nama perempuan lain.
Dalam beberapa hal, pemikiran feminis multikultur berhubungan dengan pemikiran multikutur, yaitu suatu ideologi yang mendukung keberagaman, yang saat ini diminati di Amerika Serikat. Kesatuan adalah tujuan dari generasi sebelumnya, yammg menyebutkan bahwa Amerika Serikat merepresntasi ide e pluribus unum “berbeda-beda tapi tetap satu.” Menurut sejarawan Arthur M. Schlesinger Jr., imingran awal ke Amerika Serikat bercita-cita untuk menjadi manusia baru. Ia secara khusus mencatat bahwa imigran asal Prancis pada ke-18, J. Hector St. John de Creveoeur, yang tangkas berbicara mengenai gagasan pertukaran identitas.
Feminis multikultural menyambut perayaan atas perbedaan para pemikir multikultural, dan menyayangkan antara kondisi perempuan kulit putih, kelas menengah, heteroseksual, Kristen yang tinggal dinegara maju dan Kaya, dengan kondisi perbedaan dari perempuan lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Meskipun beragam feminis di Amerika Serikat banyak mengekspresikan ketidakpuasanya dengan feminisme “kulit putih”, feminisme kulit hitam adalah termasuk yang paling awal menyarakan keluhannya secara sistematis dan ekstensif.
Feminisme global berbeda dari feminisme multikultural karena feminis global berfokus kepada hasil opresi dari kenijakan dan praktek kolonial dan nasionalis; bagai mana Pemerintahan Besar dan Bisnis Besar membagi dunia kedalam apa yang disebut sebagai Dunia Pertama (Ranah Yang Berpunya) dan apa yang disebut Dunia Ketiga ( Ranah Yang Tidak Berpunya).
Dengan keyakinan bahwa perempuan dunia Kesatu hanya tertarik pada isu seksual, atau pada usaha yang meyakinkan bahwa diskriminasi gender adalah bentuk opresi terburuk yang dapat dialami seorag perempuan, banyak perempuan ketiga menekankan bahwa mereka lebih tertarik pada isi politik dan ekonomi daripada isu seksual.
Feminis Dunia Kesatu lain yakin bahwa perempuan Dunia Kesatu tidak perlu mengabaikan keabsahan kepentingan-kepentingannya sendiri untu kengakui peran mereka dalam mengopresi orang-orang Dunia Ketiga.
Bagi feminis global, apa yang personal dan apa yang politis adalah satu. Apa yang terjadi dalam ranah pribadi seseorang di rumah termasuk yang terjadi di kamar tidur, mempengaruhi cara perempuan dan laki laki berelasi dalam tatanan sosial yang luas.
Dengan penekanan berulang-ulang atas saling keterkaitan antara beragam jenis opresi yang dihadapi oleh seoragn perempuan setiap hari dalam hidupnya, feminis global menekankan hubungan antara beragam jenis opresi yang dialami perempuan diseluruh penjuru dunia.
Seperti kemudian tampak, masalah antara perempuan Dunia Kesatu dan perempuan Dunia Ketiga selalu mucul pada setiap koferensi perempuan internasional yang diadakan antara tahun 1975-1985.
Feminisme global mendorong perempuan Dunia Kesatu untuk bersikap kritis terhadap konferensi perempuan internasional yang diselenggarakan PBB, untuk mempertimbangkan kembali keberatan mereka terhadap konferensi-konferensi seperti itu.
Priotiras perempuan Dunia Ketiga membantu menjelaskan beberapa dari mereka memandang perempuan Dunia Kesatu sebagai manusia arogan yang bersikap seolah-olah tahu segala sesuatu, yang sama sekali tidak mengenal opresi yang sesungguhnya.
Dengan menekankan bahwa segala sesuatu adalah isu perempuan, banyak feminis global menghadiri seluruh konferensi perempuan PBB dengan segal keinginan untuk menghapus garis arbitrer antara apa yang disebut sebagai isu perempuan dan isu politik, serta untuk menjembatani jurang pemisah antara pandangan perempuan Dunia Kesatu dan perempuan Dunia Ketiga.
Karena itu, feminis global harus bertanya pada dirinya sendiri apakah sunat/mutasi genital pada perempuan termasuk ke dalam kebutuhan fundamental maunisa, sebelum mereka mengaluarkan pernyataan apa pun mengenai benar atau tidaknya pratik itu. Lebih penting lagi, mereka harus berasumsi bahwa jika perempuan dari satu kebudayaan mempu mengakui kebutuhan funamental manusia, maka perempuan dari kebudayaan yang lain pun akan mampu melakukan hal serupa.

Komentar

Postingan Populer