Istilah-Istlah dalam Feminisme Eksistensial
Istilah-Istlah
dalam Feminisme Eksistensial
Rahmat
Adianto
N1D116034
Sartre membuat
perbedaan antara pengamat dan yan diamati dengan membagi Diri kedalam dua
bagaian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri (Pour-Soi) dan Ada dalam dirinya
sendiri (en-Soi). Ada pada dirinya sendiri mengacu pada material repetitif yang
dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada dalam dirinya
sendiri mengacu pada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran yang hanya
dimiliki manusia.
Selain kedua bentuk
ke-Ada-an, Sartre juga menambahkan ada yang ketiga, yaitu Ada untuk yang lain.
Terkadang Sartre menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam dua bentuk. Secara
positif atau sebagai Mit-Sein, sebagai Ada dengan Komunal. Secara negatif ,
yaitu Ada melibatkan “konflik personal karena setiap Ada untuk dirinya sendiri
berusaha untuk menemukan dirinya sendiri secara langsung atau tidak langsung
menjadikan yang lain sebagai objek.
Sartre
menganalisis beberapa jenis bad faith, yang paling tipikal adalah menyembunyikan
diri dalam peran yang tampaknya tidak memberikan ruan untuk melakukan pilihan.
Modus lain Bad faith terjadi ketika kita berpura-pura menyamakan diri dengan
benda, bahkan kita adalah tubuh atau objek yang dapat diamati.
Menurut Sartre,
jika seorang manic-depressive atau obsessive-compulsive tidak dapat
menjelaskan kesakitannya. Menurut Sartre, hubungan antar manusia adalah variasi
dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang
saling bersaing, yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta, yang
pada dasarnya bersifat masokistik. Kedua, ketidakpedulian, hasrat, dan
kebencian, yang pada dasarnya bersifat sadistis.
Ketika Beauvoir
mencari jawaban di luar biologi dan psikologi, terutama psikoanalisis,
untuk mendapat penjelasan yang lebih baik mengenai ke-Liyanan perempuan,
Beauvoir kecewa. Menurut Beauvoir, Freudian tradisional pada dasarnya menceritakan
hal yang sama tentang perempuan: Bahwa perempuan adalah makhluk yang harus
mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan kecenderungan “feminin”-nya, yang
pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua melalui erotisme vaginal.
Untuk memenangkan pertarungan ini—untuk menjadi normal—perempuan harus
mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan memindahkan hasratnya
dari perempuan ke laki-laki. Lebih rincinya, Beauvoir malihat penjelasan
Freud atas ke- Liyanan perempuan adalah tidak lengkap. Ia menyalahkan para
pemikir freudian karena mengajarkan bahwa status sosial perempuan yang rendah
dibandingkan laki-laki adalah semata-mata karena perempuan tidak memiliki
penis.
Beauvoir
menspesifikasi peran sosial sejalan dengan utama yang digunakan oleh Diri,
subjek, untuk menguasai Liyan, objek. Sebagaimana diamati Beauvoir, peran sebagai
istri membatasi kebebasan perempuan.
Menurut
Beauvoir, ada tiga jenis perempuan yang memainkan peran “perempuan” sampai
ke puncaknya. Mereka adalah pelacur, narsis, dan perempuan mistis.
Dia melacurkan dirinya, menurut
Beauvoir bukan hanya untuk uang, tetapi juga untuk penghargaan yang ia dapatkan
dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanan”-nya.
Pada awalnya,
narsisme menguntungkan bagi perempuan. Sebagai seorang yang tengah mengalami
masa pubertas, ia “dapat membangun dari penyembahan atas egonya, suatu
keberanian untuk menghadapi masa depan yang sangat tidak menyenangkan”. Pada akhirnya,
narsisme menghambat kemajuan diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan
untuk memenuhi hasrat laki-laki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.
Perempuan dalam
kategori ini berbicara tentang Diri yang Agung seolah-olah Diri seperti itu
adalah manusia biasa, dan kemudian membicarakan laki-laki seolah-olah laki-laki
adalah Dewa.
Dalam proses
menuju transedensi, menurut Beauvoir, ada empat strategi yang dapat dilancarkan
oleh perempuan. Pertama, perempuan dapat bekerja. Kedua, perempuan dapat
menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun
perubahan bagi perempuan.
Komentar
Posting Komentar