Ringkasan Feminisme Eksistensialisme


Feminisme Eksistensialisme

Rahmat Adianto

I. Pendahuluan

Analisis Beauvoir tentang opresi perempuan dalam The Second Sex terbuka untuk dikritik. Karena idealismenya, yaitu, fokusnya pada mitos dan citra, serta kurangnyastrategi praktis untuk mencapai kebebasan dan karena pandangannya yang etnosentrisdan androsentris, yaitu, kecenderungannya untuk menggeneralisasi berdasarkan pengalaman kaum perempuan borjuis prancis. Kesemua itu menghasilkan penekanan pada ketidakefektifan historis perempuan. Bagaimanapun, kita tidak menemukan sumber teoritis yang sebanding, yang dapat menstimulasi kita untuk menganalisis dan terusmenerus mempertanyakan situasi kita sebagai perempuan pada begitu banyak ranah– sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood dan seksualitas. Sejalan denganeksplorasi yang dilakukan teoritikus kontemporer terhadap isu yang dibahas dalam TheSecond Sex, kita dapat melihat bahwa, dalam beberapa hal, semua dialog feminis berdialog dengan Simone de beauvoir. Dan, diskusi dengannya dapat menjadi cara untuk menempatkan diri kita dalam masa lalu, masa kini dan masa depan feminis[me] kita.

Being and nothingness Sartre : Sumbangan terhadap The Second Sex

Sartre mempopulerkan tubuh ide yang berakar dari filsafat G. W. F. Hegel, Edmund husserl, dan Martin Heidegger. Poin yang paling penting dari ide ini adalah penggambaran Hegel mengenai psike sebagai “jiwa yang teralineasi sendiri”. Hegel melihat bahwa kesadaran berada dalam arena yang terbagi. Di satu sisi, ada ego yang mengamati. Di sisi lain, ada Diri yang imanen, atau ego yang diamati. Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri kedalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki olehmenusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacukepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia.

Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan, dicium, dan dirasakan, tubuh adalah objek yang dilihat. Sebaliknya, yang melihat—entitas yang melakukan tindak melihat, menyentuh, mendengar, mencium dan merasakan—bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat, melainkan menurut sartre, masih mempunyai sejenis ke-Ada-an; Ada untuk dirinya sendiri. Untuk memahami Ada untuk dirinya sendiri, bayangkan seseorang yang sedang menyadari jari-jari pada tangannya. Ke-Aku-annya berbeda dari jari-jarinya karena, pada saat yang sama, ia bukan sekedar, atau lain dari pada, jari-jarinya. Menurut Sartre, apa yang memisahkan ke-Aku-an seseorang— kesadaran seseorang atau pikiran seseorang—dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali [nothing] (secara literal— no thing tidak satu hal pun, atauketiadaan [nothing-ness].

Selain kedua bentuk ke-Ada-an, Sartre juga menambahkan Ada yang ketiga, yaitu Ada untuk yang lain. Sartre kadang-kadang menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam dua bentuk. Secara  positif  atau sebagai Mit-Sein, sebagai Ada dengan yang komunal. Meskipun demikian, Sartre lebih sering menggambarkannya secara negatif, yaitu Ada dengan yang melibatkan “konflik personal karena setiap Ada untuk dirinya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri dengan secara langsung atau tidak langsung menjadikan yang lain sebagai objek.” Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sebagai subjek, sebagai Diri, tepat dengan mendefinisi Ada Liyan sebagai objek, sebagai Liyan, tidak kesadaran yang membentuk sistem yang cera fundamental merupakan relasi sosial yang konfiktual. Dengan semikian, proses definisi diri adalah proses untuk menguasai Ada Liyan. “Ketika saya mencoba membebaskan diri dari diri saya sendiri dari pengusaan Liyan, Liyan mencoba membebaskan dirinya dari saya; ketika saya mencoba memperbudak Liyan, Liyan berusaha meperbudak saya... Gambaran perilaku konkret harus dilihat dalam perspektif konflik.” Dalam menempatkan dirinya sebagai Diri, setiap Diri menggambarkan dan mengatur peran bagai Liyan. Lebih dari itu setiap subjek membangun dirinya sendiri sebagai transenden  dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak.

Kebebasan, karakteristik yang membedakan suatu Diri, adalah menurut Sartre, lebih merupakan kutukan rahmat. Kebebasan merupakan kutukan, karena selama seseorang sadar, tidak ada kelegaan dari kebebasan untuk memilih dan menegakkan diri. Tidak ada jawaban  dalam hidup, hanya petanyaan. Lebih dari itu, apa yang disebut sebagai “sifat manusia”, suatu esensi/inti yang dimiliki bersama-sama oleh semua manusai, yang menentukan bagaimana seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada. Yang lebih tepat, yang ada adalah kondisi manusia, yang menempatkan semua manusia sama dan tanpa definisi. Eksitensi, menurut Sartre mendahului esensi. Dengan kata lain kita ada hanya sebagai oraganisme hidup yang amorfus (tidak mempunyai bentuk yang ajeg) hingga kita menciptakan identitas yang terpisah dan esensial bagi diri kita sendiri melalui tindakan yang sadar – melalui pilihan dan keputusan menegaskan kembali tujuan proyek lama, serta menegakkan tujuan dan proyek yang baru.

Sartre melihat hubungan yang sangat dekat antara konsepsinya mengenai kebebasan—yang sangat berbeda, baik dengan pemikiran liberal maupun Marxis—dan konsepsinya tentang ketiadaan. Sartre menegaskan bahwa tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan tindakan dengan cara apapun juga, secara mutlak kita bebas. Masa depan kita benar-benar terbuka, tidak ada satu pun bagian yang kosong diisikan untuk kita. Begitu kita memulai mengisinya, kita dipenuhi perasaan bahwa dalam proses itu, alih-alih menemukan rasa diri kita, kita malah menemukan bahwa kita kehilangan rasa diri itu. Begitu kita memilih satu pilihan untuk diri kita, kita secara terus-menerus menghilangkan  kemungkinan Liyan. Kita mendapatkan masa depan dengan cara menggadaikan masa lalu, dan resiko membebani psike kita. Jika kita berkeras mengatakan bahwa kita tidak mengalami beban psike itu, seperti ketakutan, ketidakberdayaan, rasa mual, Sartre akan mengkategorikan kita sebagai orang yang memiliki “bad faith,” suatu keadaan yang dekat dengan penipuan diri, kesadaran semu, atau delusi. 

Sartre menganalisis beberapa jenis bad faith, yang paling tipikal adalah menyembunyikan diri dalam peran yang tampaknya tidak memberikan ruang untuk melakukan pilihan. Seperti sudah dibahas, semua Ada yang berkesadaran, atau Ada untuk dirinya sendiri, tidak memiliki esensi atau definisi. Mereka harus mendefinisi diri melalui proses pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan yang saling berhubungan. Sebaliknya, semua Ada yang tidak berkesadaran, atau Ada dalam dirinya sendiri, bersifat masif. Dengan perkataan lain, Ada yang tidak berkesadaran adalah sebagaimana apa adanya. Ada yang berkesadaran seharusnya menginginkan keadaan yang aman dan sederhana seperti yang dimiliki Ada yang tidak berkesadaran.

Modus lain bad faith terjadi ketika kita berpura-pura dan menyamakan diri dengan benda, bawha kita adalah tubuh atau objek dunia yang dapat diamati. Dua masalah yang dapat timbul dari hidup dengan bad faith. Pertama, betapa pun kerasnyaseorang subjek yang berkesadaran untuk hidup dalam bad faith, dalam analisis final, bad  faith adalah ketidakmungkinan ontologis. Pour-soi, subjek yang berkesadaran, tidak dapat menjadi en-soi, subjek yang tidak berkesadaran. Hanya kematian, penutup darisemua kemungkinan, yang memungkinkan subjek yang berkesadaran untuk secara total melepaskan diri dari kebebasan. Kedua, betapa pun kerasnya subjek yang berkesadaranmencari alasan atau memberikan pembenaran atas bad faith, bad faith tetap sajamerupakan kesalahan etis yang sangat besar. Jika kebebasan mempunyai makna, makamaknanya adalah bertanggung jawab terhadap tindakan apa pun yang dipilih untuk dilakukan, dengan menyadari bahwa selalu ada ruang untuk mengambl semacam pilihan, bagaimanapun terbatasnya situasi yang dihadapinya.

Menurut Sartre, jika seorang manic-depressive atau obsessive-compulsive tidak dapat menjelaskan kesakitannya. Hal itu terjadi karena mereka memang menekan diri atas penjelasan tersebut. Ketika Freud berbicara tentang harapan yang ada dalam tataranketidaksadaran yang secara tidak sadar ditekan, Sartre membicarakan kesemuanya, tentang manusia yang menolak untuk mengakui bahwa apa yang mereka ketahui, pada akhirnya, adalah alasan atau penjelasan dari tindakan yang diambilnya. Dari semua kategori yang diajukan oleh Sartre, Ada untuk yang lain barang kali adalah yang paling tepat untuk diterapkan dalam analisis feminis. Menurut Sartre, hubungan antar manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta, yang pada dasarnya bersifat masokistik. Kedua, ketidakpedulian, hasrat, dan kebencian, yang pada dasarnya bersifat sadistis. Masokisme bagi Sartre, bukanlah penyimpangan dari cinta, melainkan konsekuensi esensial dari cinta. Melalui kesakitan dan penghinaan, kita berharap dapat menghilangkan subjektivitas kita, untuk menjadi objek yang dilihat oleh Liyan, sang penyiksa, sebagai kita. Penderitaan kita akan tampak membuktikan bahwa kita tidak memiliki pilihan dalam hal tersebut; meskipun demikian, seperti dijelaskan Sartre, hal ini merupakan keyakinan yang semu. Untuk menjadi Masokistik, kita harus memilih untuk menyadari diri kita sebagai objek. Karena itu, sebagai jalan pintas melepaskan diri dari subjektivitas, masokisme adalah jalan buntu. Semakin kita mencoba untuk mereduksi diri kita sebagai objek kita semata, semakin kita menyadari diri kita sebagai subjektivitas yang mencoba menjalankan pereduksian ini.

Ketika kita gagal dalam usaha kita untuk eksis, baik sebagai kekasih atau sebagai kekasih yang gagal (masokis), kita akan terseret ke dalam hasrat ketidakpedulian atau kebencian sadisme, yang merupakan usaha untuk menegasikan kebebasan Liyan. Penegasian ini dimulai perlahan-lahan dengan ketidakpedulian, bentuk yang disebut Sartre sebagai “kebutaan”, atau penolakan untuk mengakui subjektivitas Liyan. Kebutaan itu menyebabkan subjek memahami Liyan semata-mata sebagai objek: “Saya tidak melihat [Liyan]; saya bertindak seolah-olah hanya ada saya di dunia ini.” Solipsisme ini membangun ego, karena solipsisme menyebabkan kita luput melihat bahwa kita ditentukan oleh Liyan, dibentuk dari pandangan Liyan dan dalam pendangan itu kita bertindak. Ketika kita tidak peduli terhadap Liyan, kita berpura-pura tidak ada, dan, dengan begitu, Liyan tidak dapat mendefinisi kita atau mengkotakkan kita dalam kategori tertentu. Meskipun demikian, apa yang terjadi bahkan tanpa pengakuan kita, tetap terjadi: ada Liyan yang dalam pandangannya kita adalah objek. Apa yang kita tolak untuk akui, kapan pun dapat mengganggu kita. Liyan mungkin dapat kapan pun memandang kita sebagai manusia, dan kita mungkin menerimanya. “Kilatan-kilatan pencerahan yang singkat dan menakutkan,” menurut Sartre, dapat menyeruak melalui topeng ketidakpedulian kita, memaksa kita untuk menyadari subjektivitas dan kebebasan Liyan.

“Kebencian tidak memungkinkan kita untuk keluar dari lingkaran. Kebencian sekadar merepresentasi usaha ini, tidak ada yang tertinggal bagi diri sendiri. Setelah kegagalan dalam usaha ini, tidak ada yang tertinggal bagi diri sendiri, kecuali kembali ke dalam lingkaran dan membiarkan diri diombang-ambing tanpa batas.”
 
II. Simone de Beauvoir: Eksistensialisme untuk Perempuan

Dengan mengadopsi bahasa Ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan”sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu,  jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Menurut Dorothy Kauffman Mc Call, opresi perempuan oleh laki-laki unik karena dua alasan: “Pertama, tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis yang saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulang kali dipertanyakan dan diputar balikkan. Perempuan selalu tersubordinasi laki-laki. Kedua, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial.

Takdir dan sejarah Perempuan

Suatu cara yang baik untuk menguji pandangan Beauvoir tentang opresi perempuan, sebagai sesuatu yang unik, adalah dengan memikirkan analisisnya tentang bagaimana perempuan menjadi Liyan. Beauvoir menelaah bagaimana perempuan menjadi tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki-laki, tetapi juga inferior terhadap laki-laki. Ia mengatakan bahwa meskipun ahli biologi, ahli psikoanalis Freud, dan para ekonom Marxis telah membantu menerangkan alasan-alasan terhadap “ke-Liyanan” perempuan, para filsuf eksistensialis memberikan penjelasan yang terbaik atas fenomena itu.

Beavoir berulang-ulang mengatakan bahwa meskipun fakta biologis dan psikologis tentang perempuan—misalnya, peran utamanya dalam reproduksi psikologis relatif terhadap peran sekunder laki-laki, kelemahan fisik perempuan relatif terhadap kekuatan fisik laki-laki, dan peran tidak aktif yang dimainkannya dalam hubungan seksual adalah relatif terhadap peran aktif laki-laki—dapat saja benar, namun bagaimanakita menilai fakta ini bergantung pada kita sebagai makhluk sosial. Beauvoir menulis :“Pembudakan betina bagi spesies dan keterbatasan dari kekuatannya yang beragam adalah fakta yang sangat penting; tubuh perempuan adalah salah satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuh itu tidak saja cukup mendefinisi perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang sesungguhnya kecuali yang dimanifestasikan oleh individu, yang sadar melalui kegiatan dan apa yang ada di dalam masyarakat. Biologi tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang menghadang kita mengapa perempuan adalah Liyan.”

Ketika Beauvoir mencari jawaban di luar biologi dan psikologi, terutama psikoanalisis, untuk mendapat penjelasan yang lebih baik mengenai ke-Liyanan perempuan, Beauvoir kecewa. Menurut Beauvoir, Freudian tradisional pada dasarnya menceritakan hal yang sama tentang perempuan: Bahwa perempuan adalah makhluk yang harus mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan kecenderungan “feminin”-nya, yang pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua melalui erotisme vaginal. Untuk memenangkan pertarungan ini—untuk menjadi normal—perempuan harus mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan memindahkan hasratnya dari perempuan ke laki-laki. Lebih rincinya, Beauvoir malihat penjelasan Freud atas ke- Liyanan perempuan adalah tidak lengkap. Ia menyalahkan para pemikir freudian karena mengajarkan bahwa status sosial perempuan yang rendah dibandingkan laki-laki adalah semata-mata karena perempuan tidak memiliki penis.

Beauvoir menolak pandapat yang mengatakan adalah anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga kelas dua. Perempuan “mencemburui” mereka yang memiliki penis, kata Beauvoir, bukan karena mereka ingin memiliki penis itu sebagai penis, tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; tetapi, “prestise penis” harus dijelaskan, “melalui kekuasaan sang ayah.” Perempuan adalah Liyan bukan  karena mereka tidak memiliki penis, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.

Beauvoir pun menganggap penjelasan mengenai Marxis mengenai alasan mengapa perempuan adalah Liyan hampir sama tidak memuaskannya seperti penjelasan Freud. Engels beragumentasi bahwa sejak awal perempuan melakukan pekerjaan yang tampak sebagai jenis pekerjaan Ada dalam dirinya sendiri, seperti memasak, membersihkan, dan mengasuh anak, sementara laki-laki melakukan pekerjaan yang tampak sebagai bagian dari kategori Ada untuk dirinya sendiri, seperti berburu dan berkelahi, yang sebagian besar dari pekerjaan itu membutuhkan alat untuk menaklukan dunia. Sebagai akibat dari pembagian kerja yang spesifik seperti itu, laki-laki menguasai alat produksi; lak-laki menjadi “borjuis”, perempuan menjadi “proletar”. Penjelasan lain mengenai alasan mengapa laki-laki menamai sang Diri, dan menamai perempuan sang Liyan. Ia berspekulasi bahwa dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawanya dalam pertempuran, laki-laki memandang perempuan sebagai objek, yang hanya mampu memberi hidup. Selain itu perempuan menjadi segala sesuatu yang bukan laki-laki, suatu kekuatan asing yang lebih baik dikontrol laki-laki karena kalau tidak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki menjadi Liyan.
Mitos tentang Perempuan

Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan: irasionalitasnya, kompleksitasnya, dan mitos bahwa perempuan sulit dimengerti. Melalui analisisnya tentang mitos yang diciptakan laki-laki tentang perempuan, Beauvoir menekankan bahwa setiap laki-laki selalu dalam pencarian akan perempuan ideal—yaitu, perempuan yang akan menjadikannya lengkap. Tetapi karena kebutuhan dasar laki-laki sangatlah mirip, maka perempuan ideal yang dicari laki-laki cenderung tampak sama.

Selain mengidealkan/mengidolakan perempuan yang rela mengorbankan diri, mitos laki-laki tentang perempuan mengkhianati ambivalensi fundamental sifat-sifat alami perempuan. Dalam kalimat yang mengantisipasi pandapat feminis psikoanalis Dorothy Dinnerstein dan ekofeminis Susan Griffin, Beauvoir menjelaskan cara laki-laki menghubungkan alam kepada perempuan. Seperti alam, perempuan mengingatkan laki-laki akan hidup dan mati. Pada saat yang satu dan bersamaan, perempuan adalah malaikat tanpa dosa dan setan yang berlumur dosa. Karena tubuh alamiahnya mengingatkan laki-laki bahwa ia dapat menjadi korban penyakit, disintegrasi, kematian, dan pembusukan, laki-laki menikmati tubuh arti fisial perempuan. Diberi [pakaian] bulu, dibedaki, dan diberi pewangi, “kebinatangan” perempuan (“bau” tubuhnya) disembunyikan dari laki-laki dalam usaha laki-laki untuk melarikan diri dari ketubuhan dan kematian yang ditunjukkan oleh tubuh perempuan.
Kehidupan perempuan kini

Beauvoir menspesifikasi peran sosial sejalan dengan utama yang digunakan oleh Diri, subjek, untuk menguasai Liyan, objek. Sebagaimana diamati Beauvoir, peran sebagai istri membatasi kebebasan perempuan. Meskipun Beauvoir percaya bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan untuk memiliki rasa cinta yang mendalam, ia menyatakan bahwa lembaga lembaga perkawinan merusak hubungan suatu pasangan. Perkawinan mentransformasi perasaan yang tadinya dimiliki, yang diberikan secara tulus, menjadi kewajiban dan hak yang diperoleh dengan cara yang menyakitkan. Perkawinan merupakan bentuk perbudakan. Perkawinan menawarkan perempuan kenyamanan, ketenangan, dan keamanan, tetapi perkawinan juga merampok perempuan atas kesempatan untuk menjadi hebat. Sebagai imbalan atas kebebasannya, perempuan diberikan “kebahagiaan”. Perlahan, perempuan belajar untuk menerima kurang dari yang sesungguhnya berhak diperoleh.

Sangatlah jelas bahwa menjadi istri dan menjadi ibu, dalam pandangan Beauvoir, adalah dua peran feminin yang membatasi kebebasan perempuan, tetapi hal yang sama  juga berlaku bagi peran perempuan pekerja. Beauvoir menekankan bahwa perempuan pekerja sama halnya dengan istri dan ibu, tidak dapat melepaskan diri dari batasan feminitas. Lebih dari itu, dalam beberapa hal, perempuan pekerja bahkan berada dalam kondidi yang lebih buruk dibandingkan perempuan istri dan ibu yang tinggal di rumah (yang tidak bekerja di sektor publik), karena perempuan pekerja, secara terus-menerus, dimana pun juga diharuskan untuk menjadi dan bersikap sebagai perempuan. Menurut Beauvoir, ada tiga jenis perempuan yang memainkan peran “perempuan” sampai ke puncaknya. Mereka adalah pelacur, narsis, dan perempuan mistis. Analisis Beauvoir atas pelacuran sangatlah kompleks. Di satu sisi, pelacur merupakan paradigma perempuan sebagai Liyan, sebagai objek, sebagai yang di eksploitasi. Di sisi lain, adalah pelacur, seperti laki-laki yang membeli pelayanannya, adalah Diri, suatu subjek, seseorang yang mengeksploitasi. Dia melacurkan dirinya, menurut Beauvoir bukan hanya untuk uang, tetapi juga untuk penghargaan yang ia dapatkan dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanan”-nya. Tidak seperti istri atau kekasih, pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai alat pemenuhan mimpi laki-laki: “kemakmuran dan ketenaran.

”Peran feminin yang bahkan lebih problematik dari pada pelacur adalah narsis. Beauvoir mengklaim bahwa narsisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanan-nya. Perempuan merasa putus asa sebagai subjek karena ia tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kegiatan mendefinisi diri, dan karena kegiatan femininnya tidaklah memberikan kepuasan. “karena tidak mampu memberikan kepuasan bagi dirinya melalui proyek dan tujuan-tujuannya, [perempuan] dipaksa untuk menemukan realitasnya dalam imanensinya sebagai seorang manusia... ia menjadikan dirinya sangat penting, karena tidak ada objek  penting yang diaksesnya.

Pada awalnya, narsisme menguntungkan bagi perempuan. Sebagai seorang yang tengah mengalami masa pubertas, ia “dapat membangun dari penyembahan atas egonya, suatu keberanian untuk menghadapi masa depan yang sangat tidak menyenangkan”. Pada akhirnya, narsisme menghambat kemajuan diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.

Yang paling problematik dari peran feminin adalah perempuan mistis yang ingin menjadi objek paripurna dari subjek paripurna. Perempuan mistis, menurut Beauvoir,t idak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan laki-laki dengan Tuhan. Perempuan dalam kategori ini berbicara tentang Diri yang Agung seolah-olah Diri seperti itu adalah manusia biasa, dan kemudian membicarakan laki-laki seolah-olah laki-laki adalah Dewa.

Dalam merefleksi gambarannya atas istri, ibu, perempuan pekerja,  pelacur,  narsis, dan perempuan mistis, Beauvoir menyimpulkan bahwa tragedi dari kesemua peran itu adalah bahwa kesemuanya itu bukanlah konstruksi yang dibangun oleh perempuan sendiri. Karena perempuan bukanlah pembangun dirinya sendiri, perempuan kemudian diumpankan untuk mendapatkan persetujuan dari dunia maskulin dalam masyarakat produktif.  Perempuan, menurut Beauvoir, dikonstruksi oleh laki-laki, malalui struktur dan lembaga laki-laki.

Tetapi karena perempuan, seperti juga laki-laki, tidak memiliki esensi, perempuan tidak harus meneruskan untuk menjadi apa yang diinginkan laki-laki. Jika perempuan ingin menghentikkan kondisinya sebagai jenis kelamin kedua, Liyan, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan dari lingkungan. Perempuan harus mempunyai pendapat dan cara seperti juga laki-laki. Dalam proses menuju transedensi, menurut Beauvoir, ada empat strategi yang dapat dilancarkan oleh perempuan. Pertama, perempuan dapat bekerja. Dengan bekerja diluar rumah bersama laki-laki, perempuan dapat “merebut kembali transedensinya”. Perempuan akan secara konkret menegaskan statusnya sebagai subjek, sebagai seseorang yang secara aktif menentukan arah nasibnya.

Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan bagi perempuan. Kegiatan intelektual, adalah kegiatan ketika seseorang berfikir, melihat, dan mendefinisi, dan bukanlah non-aktivitas ketika seseorang menjadi objek pemikiran, pengamatan, dan pendefinisian.

Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Seperti Sartre, Beauvoir mempunyai harapan besar akan berakhirnya konflik Subjek-Objek, Diri-Liyan di antara manusia pada umumnya, dan antara laki-laki dan perempuan pada khususnya. Dalam Being and Nothingness, Sartre menambahkan catatan kaki bahwa segala usaha untuk cinta dan penyatuan pada dasarnya ditakdirkan untuk terjebak dalam masokisme atau sadisme. Sartre menerangkan bahwa pendapatnya tidak mengesampingkan etika kebebasan dan pembebasan. Seperti Sartre, Beauvoir yakin bahwa salah satu kunci pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi, suatu poin yang ditekankannya dalam diskusinya mengenai perempuan mandiri.

Menerima peran sebagai Liyan, menurut Beauvoir, adalah menerima status objek yang berarti, seperti ditulis Josephine Donovan, “menolak Diri-Subjek yang kreatif dan mempunyai otonomi terhadap dirinya sendiri” dan mengambil resiko untuk mengalami “kegilaan dan skizofrenia” yang merupakan akibat dari “keterlibatan untuk terus menerus melakukan kebohongan.” Di satu sisi, Diri autentik perempuan hidup sebagai Diri-Objek yang dilihat dari dunia laki-laki. Di sisi lain, Diri autentik perempuan hidup sebagai “Diri yang terasingkan dan kasat mata—kasat mata bahkan bagi dirinya sendiri.” Sebagai akibatnya perempuan menjadi menjadi Diri yang terpecah.

III Kritik terhadap Feminisme Eksistensialis (Kritik Komunitarian   terhadap Feminisme Eksistensialis)

Jean Bethke Elshtain menyalahkan pemikiran Beauvoir dalam The Second Sex untuk tiga alasan. Ia mencatat, pertama, bahwa buku ini tidak dapat diakses oleh mayoritas perempuan. Imanensi dan trasedensi, esensi dan eksistensi, Ada bagi dirinya sendiri dan Ada pada dirinya sendiri adalah ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, melainkan merupakan abstraksi yang muncul dari spekulasi sang filsuf ketika duduk di kursi goyang. Elshtain juga dengan keras menolak  pandapat Beauvoir tentang tubuh, terutama tubuh perempuan. Ia menyatakan bahwa Beauvoir menampilkan semua tubuh, terutama tubuh perempuan sebagai negatif: merugi, tidak penting, kotor, memalukan, membebani, dan secara inheren mengalienasi [diri]. Elshtain berspekulasi bahwa ketidakpercayaan Beauvoir secara umum terhadap tubuh berakar dari kecemasan eksistensialisnya tentang ketubuhan dan kematian tubuh. Tubuh adalah suatu masalah dalam kerangka pikir eksistensialis, sepanjang tubuh dipandang sebagai objek yang tidak dapat dikuasai dan tidak dapat dihindari yang membatasi kebebasan setiap subjek berkesadaran.

Akhirnya, Elshtain mengkritik Beauvoir yang dianggapnya merayakan norma laki-laki pada umumnya. Semua keluhan Beauvoir mengenai karakter perempuan sebagai pasif, submisif, imanen, dimaknai sebagai perayaan karakter laki-laki sebagai aktif,dominan, dan transeden.

Dalam buku Man of Reason, sebuah buku mengenai konstruksi gender dalam filsafat barat, genevievie Lloyd berargumentasi bahwa kategori filosofis Beauvoir tidaklah sesuai dengan kebutuhan fundamental feminis. Transedensi, menurut Lloyd, adalah definisi ideal laki-laki. Menerima yang ideal dari transedensi sebagai pembebasan perempuan, menempatkan feminis dalam paradoks yang berakar pada oposisi eksistensialis antara yang dilihat dan yang melihat, antara Diri dan Liyan. Seseorang hanya dapat melakukan satu hal, melihat, bertindak, bertrasendensi, atau dilihat, pasif, dan imanen. Karena tidak mungkin ada jenis hadir antara (in-between) di antara kedua jenis Ada ini. Satu-satunya cara untuk menjadi Diri dan bukannya Liyan adalah melampaui imanensi untuk mencapai transedensi.
 
VI Kesimpulan

Akhirnya, para kritikus itu mengundang kita untuk mempertimbangkan apakah pembebasan mengharuskan perempuan untuk menolak “yang feminin” sama sekali atau untuk merangkulnya dengan lebih erat. Beauvoir, harus diakui, adalah seorang pemikir yang menantang dan bahkan mengintimidasi. Tetapi, jika ia berbicara dengan suaranya sendiri—seorang perempuan borjuis Prancis yang sangat terdidik—tidaklah berarti bahwa pemikirannya tidak dapat berbicara kepada perempuan yang kehidupannya sama sekali berbeda dari dirinya.

Pendapat bahwa Beauvoir bersikap tidak ramah terhadap tubuh terutama tubuh perempuan, adalah salah satu contoh dari sekian banyak bukti tekstual yang ada. Ketika Beauvoir mengamati bahwa perempuan mempunyai di dalam tubuhnya suatu “elemen yang tidak ramah”—yaitu. “spesies yang siap memangsa pada organ vitalnya”—kata-katanya menimbulkan perasaan takut, lemah, dan jijik.

Seperti dikatakan Beauvoir, permasalahan yang timbul dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai dasar pembebasan perempuan adalah bahwa pemikiran tersebut mengacaukan fakta biologis dengan fakta kultural. Tubuh perempuan—walaupun hebat —tidak seharusnya menjadi dasar, atau mengharuskan, atau mendefinisi cara bereksistensi yang ajeg bagi semua perempuan. Sebaliknya, setiap perempuan harus membentuk cara bereksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Terakhir, bahwa setiap perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri, harusdimengerti dengan hati-hati. Beauvoir menyadari situai hukum, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan yang menghambat perempuan. Ia menyadari bagaimana perempuanmembiarkan dirinya terikat dan terhambat oleh situasi-situasi tersebut. Beauvoir  bersikeras bahwa tidak ada satu pun dari pembatasan itu yang dapat secara totalmemenjarakan perempuan. Perempuan ditentukan nasibnya dan, pada saat yang sama, bebas dari patriarki.

Komentar

Postingan Populer