PENGARUH KOLONIALISME TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA
PENGARUH
KOLONIALISME
TERHADAP
KEBUDAYAAN INDONESIA
OLEH
RAHMAT
ADIANTO
N1D116034
Program
Studi Sastra Indonesia
Jurusan
Bahasa dan Sastra
Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas
Halu Oleo
Kendari
2019
Indonesia
sebagai negara yang bhineka, terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, agama,
kebudayaan dan sebagainya. Kebhinekaan itulah yang dititipan leluhur sabagai
simbol kekayaan yang mempersatukan rakyat Indonesia. Namun sistem pendidikan
sebagai propaganda kolonial yang mempengaruhi pola pikir sehingga terkontaminasi
ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, salah satunya aspek
kebudayaan.
Seperti yang
telah dipaparkan di atas, kolonialisme meninggalkan pengaruh berdampak negatif pada
berbagai aspek kehidupan masyarkat di Indonesia. Namun pengaruh tersebut lebih cenderung
pada kebudayaan masyarakat pribumi, Kebudayaan disebarkan seiring kekuasaaan
kolonial. Belanda dan Portugis merupakan kolonial yang sangat berpengaruh pada
stuktur kebudayaan Indonesia. Karena kebudayaan memililki peran signifikan
untuk melestarikan Budaya.
Selain kebudayaan,
sistem pendidikan kolonial berdampak pula pada aspek sosial, perbedaan ras merupakan
salah satu penyakit yang terjadi dalam sejarah nasional yang menggambarkan
beragam konflik secara karikatural di Indonesia. Rasisme menjadi paham yang
sering dijadikan alasan untuk membedakan suatu kelampok berperadaban dangan
kelompok minoritas. Keyakinan tetang superioritas masyarakat Eropa atau barat
sebagai ras kulit putih lebih unggul. Paham inilah yang berkembang dan
mendarah-daging pada masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Dalam cerpen
“Clara Atawa Gadis yang Diperkosa” Seno Gumira Adnjidarma dengan fasih
menceritakan sebuah fenomena diskriminasi rasial yang dilakukan oleh sekelompok
pemuda masyarkat pribumi kepada masyarakat minoritas. Diskrimanasi rasial
menjadi penyakit yang mendara-daging di kalangan masyarakat pribumi sampai zaman
sekarang. Perhatikan kutipan berikut:
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku
orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya
melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian
tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki
dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering.”
”... Papa: ”Kalau kamu dengar pesan
ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak
Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah
dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh
diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa
tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
Pada dua
kutipan kutipan di atas Clara dan
keluarganya menalami peristiwa yang tragis akibat perbuatan sekelompok memuda
pribumi, hanya karena identitas mereka sebagai orang Cina. Clara mendapat
perlakuan yang tidak manuasiwi dari para pemuda pribumi itu. Permerkosaan yang
dilakukan oleh orang-orang itu membuat Clara tak berdaya, ia berjalan dengan
tubuh kesakitan. Clara memang terlihat seperti orang Cina, tetapi ia telah
lahir di Jakarta dan secara otomatis ia telah menjadi warga negara Indonesia. Pengarang
ingin menceritakan betapa besar kebencian masyarakat Indonesia kepada kaum
minoritas Tionghoa dan bukalah hal yang bersifat masif.
Adanya kelompok
tertentu yang mengembangkan stigma ini secara konstan. Stigma tentang kebencian
terhadap minoritas Tionghoa justru terjadi sampai saat ini. Misalkan pada kasus
yang menimpah Ahok pada tahun 2016 lalu. Faktor utama yang menggerakan anti
minoritas tersebut muncul ketika sekelompok oknum tertentu menggerakan massa
untuk membuat opini. Arogansi terhadap Ahok menjadi sebuah stereotip bagi minoritas
Tionghoa. Karena dalam lapisan masyarakat seperti di Indonesia, dominasi
informasi lewat media massa dari kelompok penguasa potensial berwujud ancaman
terhadap persona subaltern (notabene jumlahnya lebih banyak dibandingkan
nonsubaltern), menebar ketakutan atau histeria yang subjektif, hingga lebih
menonjolkan unsur emosi dibanding rasionalitas.
Selain itu, Ahok
juga dijadikan sebuah ejekan bagi minoritas Tionghoa dengan kata Cina. Ahok muncul
sebagai figur publik dianggap sebagai suatu kebanggaan bagi masyarakat Tionghoa
dan non-Tionghoa yang membuktikan pluralisme Indonesia. Namun sebagai realita
yang tidak disadari bahwa fenomena Ahok membawa arus rasisme pada masyarakat minoritas
Tionghoa di Indonesia.
Dalam cerpen “Tambo Raden Sukmakarto” Dwi Cipta
menggambarkan sosok kepribadian mimikri yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto
sebagai seorang pribumi yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Raden Sukmakarto
menghadiri acara peresmian gedung Nederlandsch-Indie sebagai gedung kesenian
yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Mimikri yang dilakukan oleh
Raden Sukmakarto berupa peniruan lagu Wilhelmus van Nassau, kebangsaan belanda
yang dinyanyikanya dalam bahasa Jawa. Peristiwa tersebut mengalihkan pandangan
semua orang kepadanya hingga membuatnya tekenal di Batavia.
Fenomena yang dilakukan oleh Raden
Sukmakarto merupakan bentuk perlawan tehadap bangsa kolonial melalui kemampuan
berkesenian yang dimiliki olehnya. Telah dipaparkan pada paragraf pertama dan
kedua dalam tulisan ini bahwa bangsa kolonial mempengaruhi masyarakat indonesia
dari berbagai asepek. Maka aspek selanjutnya adalah kesenian. Misalnya dalam
bidang musik, keroncong yang terkenal dengan Bengawan Solo yang ditampikan oleh
penyanyi dan pencipta lagu Gesang Martohartono.
Raden Sukmakarto melakukan perlawan
dengan cara mimikri lagu kebangsaan menggantikannya dengan bahasa jawa yang
merupakan bahasa lokal dari Indonesia. Selain bentuk perlawanan melalui lirik
lagu yang diganti dengan bahasa Jawa, Raden Sukmakarto juga melakukan
perlawanan dengan membalikan Belangkon pada saat lagu kebangsaan belanda dikumandangkan.
Hal lain yang tidak disadari bahwa Raden Sukmakarto menunjukan rasa percayadiri
yang besar bahwa perbedaan ras antara kolonial dengan pribumi tidak menjadi
patokan bahwa setiap pribumi harus tunduk pada kolonial. Raden Sukmakarto juga
menunjukan sikap bahwa pribumi tidak selemah yang dipikirkan oleh kolonial
karena sikapnya yang acuh tak acuh pada perbuatan osir kolonial padanya.
“Entah bagaimana kejadiannya ketika
bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari
kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang
bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar
orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak
memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur
Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik
kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia
itu tertidur.”
“Setelah bangun dari tidurnya ia
menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut
muka tiada bersalahnya.”
Dua kutipan cepren di atas Raden
Sukmakarto juga menunjukan bahwa tidak masyarakat pribumi tidak selamanya bisa
diperbodohi, yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto menyusun strategi untuk
menipu bangsa kolonial yang murkah karena perlakuanya yang dianggap pengginaan
bagi bangsa mereka.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan
Raden Sukmakarto merupakan gambaran
bahwa masyarakat Indonesia tidak harus tuduk dan terguyur oleh budaya barat
yang telah mempengaruhi pola pemikiran masyarakat Indonesia. Misalnya Pada
19 2011 lalu Januari UNESCO mennobatkan Alat musik khas Jawa Barat, angklung sebagai
salah satu bagian dari World Heritage.
Berdasarkan kedua analisis singkat kedua cerpen di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada masyarakat Indonesia masih tertanam stigma-stigma yang menimbukan pertentangan-pertentangan mengenai agama, ras, kebudayaan, dan sebagainya yang beredar dalam media massa. Sebab itu, sebagai negara yang masyarakatnya masih terdominasi subaltern, jadi penting untuk sadar tentang pengaruh media massa, terutama yang memiliki jangkauan luas. Karena media massa secara pelahan dapat membentuk dudut padang, pendengar, penonton, atau pembaca, sempai ke tahap mengidentifikasi dirinya afar dapat beradaptasi dengan dunia sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar