MAKALAH PENILAIAN KARYA SASTRA
MAKALAH
PENILAIAN KARYA SASTRA
OLEH:
RAHMAT ADIANTO
FERLIANI
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. Tuhan semesta alam, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa pula kami senantiasa mengirimkan shalawat dan salam kepada jujungan kita, Rasulullah Muhammad Saw. karena cita-cita dan kegigihannya memperjuangakan agama Islam seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Ucapan terima kasih pula, kami kepada Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan kami izin untuk mencancari refernsi sebagai bahan makalah ini. Kemudian tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan meluangkan waktu sehingga makalah ini dapat disusun.
Kami harapkan makalah ini dapat menambah kazanah pengetahuan para pembaca. Kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami mengharapkan kritik serta saran agar dapat menyempurnakan makalah selanjutnya.
Daftar Isi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Kritik
sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan bernilai seni
atau tidaknya. Dalam kata pertimbangan terkandung arti membari nilai. Sebab
itu, dalam kritik sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra
adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya sastra seni lainnya;
seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya, di dalamnya sudah mengandung
penilaian: seni. Dan kata seni ini berhubungan dengan pengertian “indah” atau
“keindahan”. Kembali pada karya sastra, karya sastra sebagai karya seni
memerlukan pertimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh
manakah nilai seni suatu karya sastra; ataupun mengapakah suatu karya sastra
dikatakan mempunyai nilai seni, sedangkan karya sastra yang lain kurang atau
tidak mempunyai nilai seni; atau dengan kata lain mengapakah suatu karya sastra
ini “indah”, sedang karya sastra yang lain tidak.
Di
depan telah dikutip pendapat Rene Wellek bahwa kita tak dapat memahami dan
menganalisis karya seni tanpa menunjuk pada nilai, karena kalau kita menyatakan
suatu struktur sebagai karya seni, kita sudah memakai pertimbangan penilaian.
Jadi, bila kita kritik itu kita tidak dapat pahami baik-buruknya, atau berhasil
tidaknya sastrawan mengungkapkan pengalaman jiwanya. Membicarakan atau
menganalisis karya sastra tanpa pembicaraan penilaian menjadi kehilangan
sebagaian artinya, kehilangan “rasanya”, karena dalam karya sastra yang menarik
adalah sifat seninya, dan sifat estetiknyalah yang dominan pada karya sastra.
Sebab itu, pembicaraan karya sastra sebagai seni harus disertai penilaian.
Kritik sastra tak dapat dipisahkan dengan penilaian.
1.2
Rumusan
Masalah
Sesuai
dengan yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka rumusan masalah pada
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana
definisi dan hakikat karya sastra penurut beberapa ahli?
2. Bagaimana
karya sastra yang bernilai?
1.3
Tujuan
Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
definisi dan hakikat karya sastra penurut beberapa ahli.
2. Untuk
mengetahui karya sastra yang bernilai.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat Karya Sastra
Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dan
hakikat karya sastra dari hakikat dan gunanya. Kekurangan pengertian tentang
cara menilai kerap kali
menimbulkan kesesatan dan penilaian yang tidak tepat. Sering hal ini
menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan, guna (
fungsi) karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra
sebagai seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan teks
pidato misalnya.
Aoh Kartahadimadja mengemukakan
bagaimana H.B Jassin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka syarat
pertama yang diletakkannya ialah kepada keindahan dan berulah pada moral. Baik
keindahan atau moral itu subjektif, kata Aoh kalau demikian, di sajak? Kemudian
dijawabnya: “Sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian
yang diletakkan dalam hasil-seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagu
si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian
itu didapatnya, maka lebih senanglah ia”.
Rene Wellek menyatakan pentingnya
hubungan hakikat, fungsi, dan penilaian karya sastra, sabagai berikut; “Bagaimana
orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan
definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra seperti adanya: dan menafsirkan nilai
menurut kadar sastra, hakikat, fungsi dan penilaian erat hubungannya.”(Pradopo, 2011:31-32).
Gazali B.A. memberi definisi
kesusastraan bahaswa sastra (castra) dari bahasa sanskerta yang artinya tulisan
atau bahasa yang indah;
yakni hasil ciptaan
bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan mengenai hasil seni
bahasa, perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan. Yang dimaksud dengan arti
indah: Seni (kunst, art) ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang
menimbulkan senang orang melihat dan mendengarnya. Lebih luas lagi: keindahan
yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian,
atau peradangan hati, gemas, dan dendam.
Dalam kesusastraan Indonesia I.
Simorangkir-Simanjutak memberi definisi bahwa kata kesuastraan terdiri dari:
susastra = artinya huruf atau buku. Kesusastraan = kumpulan buku-buku yang
indah bahasa dan baik isinya. Keterangan di atas ini menyatakan bahwa
kesusastraan itu adalah seni bahasa meliputi beberapa soal. a) Kepandaian seni
yang dipergunakan orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, dan permai dengan bahasa sebagai alatnya.
b) Semua pelajaran mengenai kesusastraan. c) Jumlah karangan, buah tangan, dan
buku yang baik serta berguna untuk kesusastraan.
Zuber Usamn, B.A. dalam bukunya memberi
definisi bahwa hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra. Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian
seperti itu kita maklum sebagian dari kebudayaan. Kesusastraan pokok katanya
sastra (castra. Skt) = tulisan atau bahasa; su (Skt): indah, bagus ... susastra
= bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaaan bahasa yang indah atau seni
bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dn akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan
kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa
tulis yang menggambarkan atau mencarminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau
anggota masyarakat.
Suparlan D.S. memberi definisi bahwa
kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu
bangsa dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai
alatnya. Kesenian ialah “kebudayaan” dan
berjiwa kecantikan.
Kesustraan menurut H.F Sitompul bahwa Kata
kesustraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya, segala
yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindahan kata-kata dan
susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis,
itulah kesustraan. Tetapi tidak pula semuanya. Yang isinya merupakan ilmu
pengetahuan tidak termasuk kesustraan. Warta berita dan yang serupa dengan itu
pun tidak terhitung hasil seni bahasa (kesustraan). Kata seni menunjukkan bahwa
pemakaian bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar.
Dalam pendapat Gazali B.A., B.
Simorangkir, Zuber Usman, Suparlan D.S., H.F. Sitompul tercermin juga bawah
karya sastra (Kesusastraan) ialah tulisan atau karangan yang unsur estetisknya
dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil
seni dan bahasa yang indah.
2.2
Penilaian
Karya Sastra
Dengan pembicaraan
tentang definisi dan hakikat karya sastra di atas, maksud pembicaraan ini
mengarah kepada pemberian penilaian karya sastra secara tepat berdasarkan hakikat sastra.
Dengan ini sekarang dapat dinilai karya sastra berdasar hakikatnya. Bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra
yang “imajinatif” dan “yang seni”! Dalam arti dalam karya sastra yang
bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan
baru (krativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat “seni”.
Istilah “seni” yang dipergunakan bukan
kata “indah”, tak lain karena pada zaman sekarang pemakain kata “indah” itu
rasanya tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang. Dan lagi bahwa
keindahan itu bukan lagi tujuan penciptaan sastra. Herbert Read berpendapat bahwa karya “... karena seni tidak perlu
indah: hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah kita melihat
persoalan itu menurut sejarah (dengan anggapan bahwa karya sastra telah ada
pada zaman-zaman lampau) maupun secara kemasyarakatan (dengan anggapan apakah
seni nyata-nyata ada dalam pernyataan-pernyataan sekarang ini di seluruh dunia)
kami dapati bahwa seni sering tidak punya (keindahan) atau bukan barang yang
indah”
Begitu juga kata Leo Tolstoy, bahwa
keindahan (beauty) bukan tujuan seni seperti berikut “... Orang akan sampai pada pengertian bahwa arti makanan
terletak pada pemberian zat-zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak
menganggap lagi bahwa obyek dari aktivitas tersebut adalah kesenangan.
Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang akan sampai pengertian arti seni
hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa tujuan aktivitas itu adalah
keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah (dari suatu jenis kesenangan
tertentu yang didapat dari seni) sebagai tujuan seni, tak hanya menggagalkan
kita untuk mendapat jawaban apakah seni itu, tetapi sebaliknya dengan
memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain yang sengat berlainan dengan seni
(pada diskusi metafisika, psikologi, phisiologi ...), tak mungkin hal itu
memberikan definisi.” Kemudian dilanjutkan lagi “Dengan demikian apa yang
dianggap definisi seni adalah sama sekali bukan definisi, tetapi hanya suatu
pemutar-balikan untuk menimbang seni yang ada. Karena itu, meskipun betapa aneh
kelihatannya untuk mengatakan bahwa meskipun telah bergunung-gunung buku
tentang seni tulis, tatapi tidak ada definisi seni yang pasti tersusun
(dibuat). Dan sebab dari hal yang demikian ini ialah bahwa konsepsi seni
didasarkan pada konsepsi kindahan”
Berdasarkan pendapat-pendapat
yang dikemukakan di atas, “indah” itu sementara pendapat yang sudah tidak
dipakai sebagai kriteria seni (sastra). Dengan demikian, lebih baik digunakan
kata atau istilah “seni” untuk menyatakan sifat estetik karya sastra.
Memang bukan indah semata yang menjadi
tujuan penciptaan sastra. Sebab itu, dapat kita pahami kalau Pramudya menolak
keindahan sebagai tujuan seni meskipun ada kemungkinan ia memakai dalam arti
kurang tepat atau kurang benar. Ia mengemukakan
bahwa secara klasikal orang dapat mengatakan: kesusastraan adalah suatu
keseluruhan cipta manusia baik dalam prosa puisi untuk mengucapkan suatu keindahan, tetapi bila orang telah
meninggalkan bangku sekolah, ia akan ragu dengan pengertian-pengartian tentang
keindahan yang telah diterimanya di waktu-waktu yang lalu. Dan lagi
hanya keindahan sajakah yang akan diucapkan kesusatraan? Ini tidak boleh jadi.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam kesusastraan keindahan hanya merupakan
bahan, tak ada bedanya dengan bahan-bahan yang lain yang dipergunakan
pengarang. Dalam bermacam ragam masalah kemasyarakatan, maka keindahan hampir
tak mendapat tempat utama seperti dahulu.
Jika ditinjau dari arti
kata indah mengandung arti seperti
berikut: yang baik, yang halus, bersih, menyenangkan, tidak kotor, tidak cacat,
tidak menyedihkan – dan arti sekitar pengertian-pengartian tersebut hingga
dengan demikian, kata seni atau arti seni diartikan secara harafiah dengan kata
indah tidaklah tepat karena dalam arti seni masih terkandung sifat-sifat lain,
di samping arti menyenangkan, indah, ada pengartian kesabaran dan juga arti
kegerian.
Dalam tulisannya Pramudya berkata bahwa keindahan adalah wujud kesubjektivitasan
manusia, dan selanjutnya katanya, bahwa keindahan adalah soal yang sangat
empiris, hanya dapat dikenal sesudah kita rasakan. Memang keindahan,
juga bahkan keharuan, baru kita kenal setelah melihat berhasilnya sastrawan
dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya. Jadi, keindahan dan keharuan itu akibat
saja dari karya sastra khususnya, karya seni umumnya. Seperti halnya pendapat
seorang sastrawan Amerika terkenal, Aldous Huxley, “Beauty is a by-product” keindahan hanya hasil yang kurang penting,
hasil tambahan karya sastra dan dalam karya seni karena keindahan bukan tujuan
penciptaan karya seni. Seperti pendapat Jacob
Epstein dalam The Sculptor Speaks” sebagai
berikut. “Saya ragu apakah seorang seniman bermaksud secara sadar pada
pencitaann keindahan. Saya berusaha mengungkapkan watak dari apa yang sedang
saya lukis. ... Berbahayalah orang yang secara sadar bertujuan pada keindahan,
karena akan menghancurkan segala watak.
Seniman, sastrawan memang dalam
menciptakan karya sastranya itu, tujuan pokoknya melukiskan atau
mengekspersikan watak-watak yang penting, bukan mencipatakan keindahan.
Keindahan hanya akibat, hanya hasil tambahan, hanya by-procuct. Keindahan hanya
sebagai wujud benda memang tidak ada karena keindahan itu hanya sifat, maka ia
melekat pada hal lain.
Pramudya menolak bahwa
arti untuk dikenakan pada lukisan, keadaan yang mengerikan, objek yang
menakutkan. Ia tidak menghubungkan dengan cara pengucapannya atau cara
melukisakan keadaan yang mengerikan atau menakutkan itu. Bila kata indah ini
dihubungkan dengan cara pengungkapan yang berhasil baik, tentulah dapat
diterima.
Seperti pendapat N.G.
Tjernisevski, pemikir, filsuf Rusia, demikian: “ Sebuah karya seni memanglah
akan indah hanya apabila seninya telah membewakan dalam karya segala yang
dimaksudkan untuk dibawa ke dalam karyanya. Sudah tentu sebuah potret bagus
adanya hanya jika senimannya telah berhasil untuk “melukiskan secara seksama
semua ciri-ciri yang hendak dilukiskannya.” Namun untuk “melukiskan suatu paras
dengan indah” dan untuk “melukisakan
suatu paras yang indah” adalah dua
hal yang sama sekali belainan. Jadi, harus dibedakan lukisan atau objek yang
dilukiskan dan cara melukisnya.
Slametmuljana mengutip
definisi dari Tomas Aquino bahwa untuk keindahan ada tiga syarat: Pertama
jutuhan atau kesempurnaan; karena segala kekurangan mengakibatkan keburukan,
Kedua, jeselarasan bentuk atau keseimbangan. Ketiga; sekali lagi sinar
kejelasan, karena itu, apa pun yang berpancar sinar kejelasan, boleh disebut
indah.” (dari Summa Theologie).
Sering orang menilai
karya sastra dengan bersandar pada funsingnya, tetapi karena tidak melihat
fungsi yang berdasar hakikat karya sastra, maka menyebabkan kesesatan atau
tergelincir dalam menilai karya sastra. Ia memakai kriteria di luar karya
sastra, misalnya dengan kriteria paham-paham atau aliran-aliran, dan
sebagainya, tanpa memperhatikan kriteria literer.
Rene Wellek berpendapat
bahwa fungsi seni dan sastra pada dasarnya tetap sepanjang zaman setelah
penyelidiki sejarah estetika dan poetika. Rene Wellek mengutip pendapat Horace
bahwa seni itu sifatnya dulce et utile
dan berkesimpulan. “Sejarah estetika dapat diringkas sebagai suatu dialektika
yang tesisnya dulce at utile, artinya
bahwa puisi itu menyenangkan dan berguna.
Dreyden, halus dan
menyetuh hati dalam caranya, adalah memuaskan bila ia (puisi) menyenangkan
karena kesenangan adalah terutama, tetapi bukan satu-satunya, tujuan puisi:
memberi dudukan dapat diterima (disetujui) tetapi tempat yang nomor dua; karena
puisi hanya memberi didikan bila menyenangkan.
Maka dalam menilai karya sastra
berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kriteria hakikat itu, sedang
fungsi-fungsi lainnya di luar hakikat itu jatuh nomer dua bila menghendaki
penilaian karya sastra sebagai karya seni. Sampai masa kini di dalam sejarah
kesusastraan masih kita dengar pertentangan antara kaum seniman yang beraliran
seni untuk seni (l’art pour l’art) dengan sastrwan yang berpaham seni
bertujuan.
P ada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian
yang penting yaitu paham penilaian relativisme, absolutisme, dan
perspektivisme. Akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Penilaian relativisme
ialah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian lagi”, atau
penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra.
2.
Penilaian absolut
adalah paham yang menilai karya sastra berdasarakna paham-paham, aliran-aliran,
politik, moral, ataupun berdasar ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis
dan berdasarkan padangan sempit hingga dengan demikian sifat penilaiannya tidak
berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat seni itu
sendiri.
3.
Pengertian perspektif
adalah paham yang menilai karya sastra dari segi perspektif, dari berbagai
sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu
terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa berikutnya.
Komentar
Posting Komentar