HIBUNGAN INTERTEKSTUAL DISKRIMINASI MASYARAKAT TIONGHOA DALAM CERPEN “CLARA ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DENGAN “MALAIKAT BERTANYA” KARYA IRE ROSANA ILLAIL
HIBUNGAN INTERTEKSTUAL DISKRIMINASI MASYARAKAT TIONGHOA DALAM CERPEN “CLARA ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DENGAN “MALAIKAT BERTANYA” KARYA IRE ROSANA ILLAIL
RAHMAT
ADIANTO
N1D1
16 034
PROGRAM
STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2019
1. Latar Belakang
Rasisme,
diskriminasi rasial, dan berbagai sikap intoleransi tidak sedikit ditemukan di berbagai
sektor dunia, secara stereotip dihubungkan dengan keadaan itu seperti halnya
Amerika Serikat. Secara umum
rasisme dapat definisikan sebagai opresi sikap, kecenderungan, dominasi, bahkan
tindakan yang mengunggulkan atau konfrontasi terhadap kelompok masyarakat
tertent, terutama karena identitas ras.
Rasisme
juga dapat mencakup perspektif sebagai kebodohan karena tidak mendasarkan
individu pada suatu dasar yang kuat, kontraversi dengan norma-norma etis,
perikemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia. Akibatnya, etnis yang berasal dari
suatu
bangsa lain mengalami oprsi, diskriminasi, terhina, bahkan
dapat terbunuh.
Pemilihan
teman maupun jodoh merupakan suatu perilaku etiket yang berdasar pada
superioritas atau inferioritas suatu golongan. Istilah diskriminasi ras
mencakup segala bentuk perilaku
pembedaan berdasakan ras. Bentuk diskriminasi ras tampak jelas dalam pemisahan (segregasi)
tempat tinggal warga ras tertentu di kota-kota besar di dunia Barat maupun
Timur. Juga tata pergaulan antar ras
yang memperlakukan etiket (tata sopan santun) berdasarkan superioritas/inferioritas
golongan. Termasuk didalamnya.
Di
Indonesia, operesi dan Konfrontasi terhadap etnis Tionghoa juga terjadi pada
zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, sampai sekarang. Salah satu penyebab hal
tersebut adalah usaha Kolonial Belanda untuk memberi peringatan kepada etnis
Tionghoa agar segala hal yang berkaitan dengan perkembangan bisnis dan ekonomi
mereka senantiasa tunduk pada peraturan Belanda. Pada masa jabatan Soeharto
sebagai Presiden Republik Indonesia, diskiriminasi mendapat perhatian dengan
ditertbitkannya surat edaran yang berisi tentang “Kebijakan Pokok Penyelesaian
Masalah Cina” pada Juni 1967 dan kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan
Presiden pada Desember 1967. Dalam surat edaran merepakan pernyataan sikap
pemerintah bahwa tidak ada pembeda antara Tinghoa WNA dan Tionghoa WNI.
Diskriminasi
yang berupa opresi dan konfrotasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti pada
tahun 1960-an. Dalam cerpen “Clara Atawa Wanita yang Diperkosa” karya Seno Gumira Ajidama dan “Malaikat Bertanya”
karya Ire Rosana Illail mereka peristiwa diskriminasi etnis Tionghoa sekitar
tahun 1980-an. Penggambaran yang imajinatif dalam kedua cerpen di atas cukup
member betapa intolerannya masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa.
2.
Gambaran Sekilas Kedua Cerpen
Clara Atawa seorang perempuan yang berdarah Tionghoa
mendapat sikap yang tidak manusiawi dari beberapa orang laki-laki pribumi, saat
sedang mengendarai sebuah mobil menuju rumah, orang tuanya mengubunginya untuk
tidak pulang karena mereka dalam tengah diserang oleh pribumi. Clara tetap
nakad untuk pulang dan mengemudi dengan kecepatan penuh. Di tengah perjalanan,
ia dihadang oleh 25 orang laki-laki untuk menghentikan mobilnya. Clara
mengentikan mobil dan menurunkan kaca jendela mobil. Setelah diteriaki dengan
sebutan Cina, Clara dan keluarga diseret ketepi jalan kemudian mendapat
perlakuan asusila. Pada akhirnya adik, ayah, dan ibunya mati dalam rumah yang
tengah dilahap api dan Clara mendapat kekerasan seksual dari laki-laki yang
menghadangnya.
Dalam Cerpen “Malaikat Bertanya” pengarang menggambarkan
tokoh aku dengan bentuk yang samar, tokoh aku menceritakan fenomena konfrotasi
masyarakat pribumi terhadap ernis Tionghoa. Sebuah keluarga harus menghadapi
konflik dari masyarakat pribumi hanya karena perbedaan ras. Peristiwa yang
digambarkan penulis hampir dsama dengan peristiwa klimaks yang digambarkan oleh
Seno. Saat tokoh Gadis kecil pergi ke sekolah ia tidak pulang beberapa hari
hingga terdengar berita tentang pembantaian terhadap etnis Cinta. Beberapa hari
kemudian demonstran dengan secara anarkis ke rumah orang Cina, di sana ada
tokoh Pak Tua dan Bu Poni Gulung yang tengah panik karena sorak-sorakan lantang
semakin dekat di rumahnya. Tiba di rumahnya para demonstran menggedor-gedor
pintu toko sampai rusak, lalu mereka mengobrak-abrik isi toko itu. Teriakan
Lantang dengan sebutan Cina juga terdengar oleh Pak Tua dan Bu Poni Gulung,
sebelum rumah mereka dibakar, sementara Si Gadis telah ditangani dokter karena
kekerasan seksual.
3.
Hubungan Intertekstual dalam Kedua Cepren
Ratna
(2004: 172) mengatakan penelitan interkstektual termasuk wilayah
postrukturalisme. Penulis bisa memahami pendapat ini, sebab intertekstual
memang tidak mencari hubungan antarunsur dalam suatu teks, melainkan relasi
antarteks (Suwardi, 2011: 197).
Bersarkan teori yang dikemukakan oleh Ratna di atas, maka ada
relasi antara Cerpen Cerpen “Clara Atawa Wanita yang
Diperkosa” Karya Seno Gumira Ajidarma dengan “Malaikat Bertanya” Karya Ire
Rosana Illail. Seno menggambarkan diskriminasi terhadap orang tua dan Clara
sebagai keturunan Cina.
”Kalau kamu
dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau
paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan
Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa…” (Seno,
1998).
“Suara kaca
pecah terdegar dari arah lanta atas. Sebuah botol berisi minyak dengan apli
menyala menembus celah trails dan jatuh tepat di atas kasur bersprei biru
laut.” (Ire, 2018).
Kutipan di atas berasal cerpen
“Clara Atawa Wanita yang Diperkosa” dan
“Malaikat Bertanya” menunjukan bahwa maraknya diskriminasi yang dilakukan oleh
masyarakat pribumi kepada etnis Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu
konflik tehadap rasial yang sering terjadi. Diskriminasi yang berupa perbuatan
asusila yang dilakukan oleh pribumi kepada perempuan-peremuan keturunan Cina
dalam kedua cerpen di atas menunjukan betapa besar kebencian masyarakat
Indonesia tehadap masyarakat keturuan Cinta. Dalam kedua cerpen juga digambarkan
bahwa Clara dan Si Gadis, serta keluarga mereka mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi. Kedua cerpen ini secara gamblang meberikan gambaran perbuatan
pribumi yang melakukan aksi demonsteran yang diakhiri dengan pembakaran rumah.
“Cina!”
”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.” (Seno, 1998).
“Bakar
Cina!” teriak mereka” (Ire, 2018).
Kedua
Kutipan cerpen di atas menunjukan bahwa ada relasi antara latar belakang penciptaan
cepren tersebut. Gambaran diskriminasi rasial menjadikan dasar kebencian
masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa. Seakan semua orang yang
berketurunan cinta tidak diperbolehkan hidup di Indonesia.
Sumber Refernsi :
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.
https://www.kompasiana.com/471313/5b03fde7caf7db64bf30fd04/malaikat-bertanya-cerpen-tragedi-mei-1998?page=all (diakses 28 Mei 2019).
https://sukab.wordpress.com/2007/04/14/clara-atawa-wanita-yang-diperkosa/(diakses
28 Mei 2019).
Komentar
Posting Komentar