Menjadi Manusia yang Manusia


Iksan Skuter dalam lirik lagunya "makin susah saja menjadi manusia yang manusia". 

Manusia yang manusia? Perlu kita renungkan, Iksan Skuter begitu tersirat mengatakan bahwa tidak semua manusia adalah manusia. Lalu, jika bukan manusia, lalu apa? Selain manusia, ada jin, malaikat, hewan dan benda. 

Hemat saya, manusia dapat dikategorikan sebagai; entah hewan, jin, bahkan benda. Tergantung dari dinamika pembahasan, misalkan seperti kata Aristoteles "manusia adalah hewan yang berpikir" sampai di sini, mungkin tidak sedikit orang yang akan mengelak. Tapi kenyataannya demikian, kadang secara gamblang, manusia persis hewan. 

Membedakan manusia dengan hewan terletak pada proses berpikir (atau menggunakan akal). Dengan akal, manusia akan dibatasi oleh norma-norma, misalnya norma spritual dan norma sosial. Sebab makhluk ciptaan Allah, manusia terikat oleh kaidah-kaidah spritual. Dari ranah sosial, manusia terikat oleh berbagai sikap kaku, ada tuntutan agar seorang berakal tidak sampai merugikan atau menyakiti orang lain. Demikianlah akal menjadi pembatas perlakuan semena-mena dari manusia, jika seorang sadar akan adanya norma-norma ini, mereka akan senantiasa berada dalam koridor. Bahkan manusia bisa lebih tinggi derajatnya dibanding malaikat, jika manusia itu mengimplementasikan contoh dari Nabi dan rasul, kemudian patuh pada berbagai aturan dan senantiasa ikhlas atas berbagai ujian pula. Kira-kira demikian pula manifestasi dari penggunaan akal. 

Maka yang membedakan secara krusial antara manusia dengan hewan adalah dari proses berpikir (menggunakan akal). 

Kok bisa, hewan kadang sepintar manusia? Ya bisa, hewan selalu tinggal pada sebuah habitat, ke mana pun dia berjalan kebanyakan akan pula ke habitat itu, tanpa memberi tanda pada perjalanan dan tanpa meninggalkan jejak pula, mereka selalu hafal jalan pulan. Pintar kan? 

Hewan terlihat pintar karena bukan menggunakan akal sebagaimana manusia, tapi mereka dengan mantap menggunakan naluri mereka, demikianlah yang membuat hewan dapat memilah dan memilih pula seperti manusia.

Di sisi lain, juga serupa jin. Ketika seorang melampiaskan seluruh keinginannya tanpa membedakan baik-buruk untuk diri sendiri maupun pada orang lain. Salah satunya, sifat dengki melihat orang lain bahagia, memberi doktrin buruk pada orang lain, dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan manusia sehingga menyerupai jin.

Dan sisi lain lagi, manusia dapat dikategorikan pula berbagai benda. Baik secara fisik maupun secara makna. Manusia secara fisik tidak lain dan tidak bukan sebagai wujud yang kasat mata, dapat disentuh, dan ditabok. Termasuk dalam ciri-ciri benda yang memiliki bentuk, kasat mata dan dapat disentuh dan ditabok. Maka manusia termasuk dalam kategori benda hidup. Secara makna, manusia juga dikatakan sebagai benda yang identik dengan alat. Struktur organisasi sosial, tentu ada, berbagai macam klasifikasi kelas sosial seusai daerah dan adat setempat. Di Indonesia secara umum, klasifikasi kelas tidak asing di telinga atau di mata kita. Ada mulai dari istilah Eropa totok, Indo dan Pribumi, Kemudian kaum Borjuis dan Proletar, kaya dan miskin dan ketimpangan lain. Juga yang termaktub dalam klasifikasi manusia dengan kasta rendah atau rakyat jelata, orang pinggiran, dkk. acap kali menjadi alat menunjang kebutuhan manusia kasta tinggi. Kadang, mereka terhimpit dan tidak punya pilihan.

Jadi untuk menjadi manusia yang manusia bukan hal yang sangat sederhana. Butuh waktu yang lama, butuh proses panjang. Waktu untuk mengajarkan pada seorang manusia untuk menalar berbagai persoalan hidup. Menalar berbagai hal yang semestinya diterapkan dan yang tidak pantas diserap. Butuh proses yang panjang, untuk menjelajahi berbagai tempat dan budaya manusia lain. Bukan pula proses yang pendek menjadikan seorang manusia agar kritis dengan keadaan bangsanya. Yang berani berkata tidak pada kesenjangan, dan berani bertindak cepat dan tepat untuk keselarasan tanpa menghiraukan risiko.

Seiring waktu, dari generasi ke generasi. Manusia mengalami kemerosotan akhlak dan akal, senang disebut barbar (tidak ada akhlak). Generasi muda yang semakin perlahan pula kehilangan intelektualitas, spiritual, Sosial, dan Budaya. 

Terjebak oleh kesenangan dan kenyamanan teknologi yang sengaja dibuat untuk melenakan manusia, membuat manusia jauh dari agama dan ibadahnya, jauh dari literasinya. Sibuk dengan kenikmatan teknologi, menjadi budak yang dikendalikan oleh teknologi. Jika jadi politikus, telah lama diajarkan berbagai cara curang, mengahalalkan segala cara agar mendapatkan dan mempertahankan jabatan. Jika jadi polisi, akan tunduk pada atasan, secara langsung tunduk pula pada kekuasaan, sulit mengatakan tidak, karena mereka tidak ingin kehilangan jabatan. 

Setelah menjadi manusia yang manusia, ke mana lagi? Paling jadi pengangguran, menjadi seniman yang tak suka menjual karyanya, dan menjadi orang-orang sederhana lainya asal tidak diperintah oleh kezaliman.

Rahmat Adianto
Langgikima, 10 Mei 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer