ANALISIS CERPEN TAMBO RADEN SUKMAKARTO (TEORI PASCA-KOLONIAL OLEH PROF. FARUK)
ANALISIS CERPEN TAMBO RADEN SUKMAKARTO
(TEORI PASCA-KOLONIAL OLEH PROF. FARUK)
RAHMAT ADIANTO
N1D116034
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB I
LATAR BELAKANG
Cerpen sebagai sebuah karya yang
mengandung berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Cerpen dapat
mempengaruhi kehidupan seseorang. Jati diri atau sikap seseorang bahkan dapat tereprsentasi
melalui sebuah cerpen. Setiap pembaca cerpen setidaknya akan mendapat berbagai
inspirasi kepribadian dan kehidupan tokoh yang dibaca.
Tidak sedikit pengaran merepresntasi
kehidupan maupun sikap tokoh yang dikagumi dalam sebuah cerpen. Dalam penulisan
cerpen sebagai salah satu kegiatan yang menyenangkan, namun juga dibutuhkan
khazanah pengetahuan yang luas mengenai penggunaan bahasa. khazanah pengetahuan
yang luas mengenai penggunaan bahasa tersebut dibutuhkan dalam rangka mencapai nilai estetis sebuah karya
sastra. Sebelum mulai menulis cerpen seorang pengarang sebaiknya memenuhi
tuntutan tantang pengetahuan, pembacaan,
pengamatan, dan pengalaman untuk memahami pesan dan ide pokok yang akan
disampaikan dalam suatu cerpen.
Dwi Cipta,
dalam cerpenya berjudul “Tambo Raden Sukmakarto” menggambarkan berbagai fenomonen
sosial pada masa pemerintaham Hindia-Belanda. Cerpen Tambo Raden Sukmakarto
sebagai karya yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa
penjajahan. Secara otomatis, cerpen tersebut dapat menjadi objek kajian yang
menggunakan teori poskolonialisme.
BAB III
PEMBAHASA
1.
Struktur Naratif
Dwi Cipta, dalam cerpenya
berjudul “Tambo Raden Sukmakarto”. Ia menggambarkan berbagai fenomonen sosial pada
masa pemerintahan Hindia-Belanda. Penuturan cerita dalam dalam cerpen “Tambo
Raden Sukmakarto” (TRS) menggunakan teknik naratif “orang ketiga mahatahu”. Dalam
teknik ini, Dwi Cipta berada di luar cerita, namun narator mengetahui segala
hal mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh-tokoh cerita. Selain itu,
narator juga mengetahui ruang yang ada di sekitarnya, yang kemungkinan tidak
diketahui oleh tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“Ketika
lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie
Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan
lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan
Belanda tersebut.” (Cipta, 2006: 1).
Narator mengawali, penggambaran kisah dalam cerpen
TRS dengan gambaran mengenai diri Raden Sukmakarto dan Gubernur
Jenderal Idenburg saat mereka berada dalam satu ruangan di gedung Nederlandsch-Indie
Kunstkring karena peresmian gedung tersebut. Analisis di atas dapat dibuktikan
dengan kutipan berikut.
“Seorang opsir dan dua pembantunya, setelah mendapat
laporan dari seorang kacung, meninggalkan tempatnya berdiri di belakang
Gubernur Jenderal Idenburg yang sedang berbahagia meresmikan gedung kesenian
itu dan melangkah menuju pada lelaki berpakaian Jawa itu. Mereka menggelandang
lelaki ganjil itu ke ruang pemeriksaan sementara.” (Cipta, 2006:
1).
Narator menggambarkan penampilan Raden
Sukmakarto seorang pribumi yang berpenampilan aneh dan serta tingkah laku yang
aneh pula. Penggambaran tokoh tersebut memicu fenomena yang terkesan lucu saat
Raden Sukmakarto menyanyiakan lagu kebangsaan Belanda dalam bahasa Jawa sambil
membalikan belangko yang dikenakannya.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“seorang
lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa
Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut.
Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke
arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu
kebangsaan Belanda mulai mengalir.”(Cipta, 2006: 1).
Ada keberpihakan
narator yang mendonjol terhadap tokoh-tokoh dalam cerita. Kecenderungan narator
berpihak, bersimpati, dan bersikap anti pati terdapat dalam cerpen ini. Narator
mengawali penggambaran cerita dengan keberpihakannya kepada bangsa Belanda
sebagai penguasa saat itu. Misalnya keberpihakan narator pada Raden Sukmakarto,
Gubernur Jendral Idenburg, keberpihakan pada Tuan
Hooykaas, juga
kepada. Kecenderungan anti pati narator ditujukan kepada Opsir.
Keberpihakan narator pada Raden Sukmakarto dapat
dilihat dari kutipan berikut.
“Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan
ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati
lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt...” (Cipta, 2006:
1).
Keberpihakan narator pada Gubernur Jendral Idenburg dapat dilihat dari
kutipan berikut.
“Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati
kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu
kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” (Cipta, 2006: 5).
Keberpihakan narator
pada Tuan
Hooykaas dapat dilihat dari
kutipan berikut.
“Tuan Hooykaas memandang opsir yang tadi menyiksa
lelaki itu. Tiba-tiba cahaya terang seperti melintas dari dahi lebarnya dan
merasuk ke dalam kepalanya. Ia memalingkan muka ke arah lelaki itu. Tangannya
bergerak ke arah kantong saku dan mengambil sapu tangannya. Diserahkannya benda
putih persegi empat terbuat dari bahan sutra halus dan berkilat kepada lelaki
itu.” (Cipta, 2006:
3).
Keantipatian narator
pada Opsir dapat dilihat dari
kutipan berikut.
“Dasar
Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang
peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina
tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar.” (Cipta, 2006:
1).
Dalam cepern TRS digambarkan pula perlawanan
yang dilakukan oleh Raden Sukmakarto yang berusaha melakukan perlawanan kepada pemerintah
kolonial Belanda dengan cara yang halus tetapi membuat tokoh-tokoh kolonial
kewalahan menghadapinya. Kecerdasan Raden Sukmakarto menggunakan kecedasanya
untuk menipu tokoh-tokoh kolonial yang berkuasa saat itu.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
”Kabarnya
tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah
sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa
kami,” sergahnya.” (Cipta, 2006: 4).
Saat narator
hanya melihat dari luar dan dari jauh, apa yang dituturkannya dapat mengecoh
pembaca sehingga misalnya mengira yang Raden Sukmakarto tidak dapat berbahasa
Belanda sementara Hooykaas sebagai warga kebangsaan Belanda tidak dapat
berbahasa Jawa. Dalam cerpen tidak ada gambaran secara langsung bahwa Raden
Sukmakarto dapat berbahasa daerah, namun kemampuan tersebut dapat diambil
sebuah interpertasi dari femomena saat Randen Sukmakarto mengubah lagu
kebangsaan Belanda dalam bahasa Jawa.
Analisis di atas berupa penjelasan tentang
kemampuan Raden Sukmarto, berikut kutipannya.
" Ketika lagu
Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie
Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan
lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan
Belanda tersebut.” (Cipta, 2006: 1).
Penjelasan tentang
kemampuan Raden Sukmarto, berikut kutipannya.
“Nama saya Hooykaas. Katanya tuan menyanyikan
Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Apakah benar tuan telah menyanyikannya
dalam bahasa Jawa?” (Cipta, 2006: 2).
Problematik posisi
narator di hadapan Belanda dengan segala tokoh yang merepresentasikannya, juga
merupakan problematiknya posisi Raden Sukmakarto sebagai keturunan bangsawan Jawa,
Bupati Blora yang berkebangsaan Indonesia yang paham berbagai hal dalam
berkesenian dan berusaha menunjukan bahwa pribumi tidak seburuk yang dipikirkan
kolonial.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
"Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di
Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa
anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena
asyik berpesiar ke Eropa…”(Cipta, 2006: 1).
2.
Struktur Ruang dan Waktu
Ruang di dalam cerpen TRS antara lain terbagi
menjadi gedung, ruang peresmian, Hindia-Belanda, STOVIA, Blora, dan Eropa, lorong-lorong,
Ruang Keamanan dan Ruang Interogasi, Paris dan Belanda, kantor
Gubernur Jenderal Idenburg, Weltevreden, Batavia, Sedangkan waktu terdiri dari siang dan
malam, gelap dan terang, masa lalu, masa kini, masa depan.
Analisis ruang di atas dapat dibuktikan dengan
kutipan berikut.
1.
Gedung
“Namun
peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi
lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu." (Cipta, 2006: 1)
2.
Ruang Peresmian
“Wajahnya tak
membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja
dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh
lukisan-lukisan Rembrandt.” (Cipta, 2006: 1).
3.
Hindia-Belanda
“Saya
seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda
karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami,
Multatuli.” (Cipta, 2006: 4).
4.
STOVIA, Blora, dan Eropa
“Di masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol
tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa
STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa.” (Cipta, 2006: 1).
5.
Lorong-lorong
“Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan
ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati
lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt.” (Cipta, 2006: 1).
6.
Ruang Keamanan dan Ruang Interogasi
“Opsir itu
meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu
singkat.” (Cipta, 2006: 2).
7.
Paris dan Belanda
“Ya, tuan.
Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun.
Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke
bekas rumahnya di Belanda.” (Cipta, 2006: 277).
8.
Kantor Gubernur Jenderal Idenburg
“Entah
bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg,
Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah
berbinar-binar gembira.” (Cipta, 2006: 4).
9.
Weltevreden
“Sampai pada
saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden,
orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar." (Cipta, 2006: 4).
10. Batavia
“Ia hanya
bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak
lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal
sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur” (Cipta, 2006: 5).
Analisis waktu di atas
dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
1.
Masa lalu
“Tuan tahu
Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.” (Cipta, 2006: 3).
2.
Masa Kini
“Diserahkannya
benda putih persegi empat terbuat dari bahan sutra halus dan berkilat kepada
lelaki itu.” (Cipta, 2006: 3).
3.
Masa Depan
“Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya
di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan
tidak sabar." (Cipta,
2006: 4).
Narator memulai cerpen ini dengan gambaran kisah
konyol Raden Sukmakarto dah masa pemerintahan kolonial Belanda di Batavia. Di
sebuah acara peresmian gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, Raden Sukmakarto
melakukan hal aneh yang mengalihkan perhatian orang-orang yang hadir dalam
ruangan tersebut.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“…, seorang
lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa
Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut.
Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke
arahnya” (Cipta, 2006: 1).
Penggambaran fenomena-fenomena yang terjadi
dalam cerpen cenderung menggambarkan keadaan ruangan pemerintah Kolonial saat
itu. Narator menggambarkan beberapa ruangan beserta isi ruangan yang ada dalam
gedung tempat terjadinya fenomena. Karena ruagan tersebut merupakan ruagan
pementrah kolonial sebagai penguasa pada saat itu, maka tidak heran jika
penggambaran ruangan dan isinya terlihat megah. Bukan hanya terlihat megah
tetapi ruangan itu sekaligus membarikan gambaran bahwa ruangan menyimpan corak
kebudayaan belanda.
Analisis di atas dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Wajahnya tak
membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja
dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh
lukisan-lukisan Rembrandt.” (Cipta, 2006: 1).
Dalam cerpen TRS, narator menggambarkan
keadaan Raden Sukmakarto yang sebagai seorang pribumi yang melakukan perlawanan
melalui kelakuan konyolnya. Kelakuan konyol yang dilakukan oleh Raden
Sukmakarto sebagai indikasi perlawanan secara halus melalui kritik dan dan
kompromi antra Kolonial dengan Raden Sukmakarto. Raden Sukmakarto menunjukan
bahwa tidak pribumi dianggap rendah, memang dalam cerpen tidak dijelaskan
bagaimana kondisi ekonomi Raden Sukmakarto, namun dari latar belakangnya
sebagai bangsawan pribumi cukup menggambarkan bahwa ada persaingan antara Raden
Sukmakarto dari segi sumber daya melalui kritikannya pada sebuah lukisan.
Analisis dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Ia kurang
hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak
membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa
perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan.” (Cipta, 2006: 1).
Gedung dan acara
peresmian gedung dalam cerpen ini dapat dikatakan sebagai lambang identitas
seseorang yang menjadi pemiliknya. Melalui gambaran keadaan gedung Nederlandsch-Indie
Kunstkring dan corak-corak yang digambarkan dalam gedung tersebut merupakan pengambaran
identitas yang cukup jelas bahwa bangsa Belanda saat itu salah satu pihak
memiliki kemegahan. Situasi tersebut menjunjukan bahwa Kolonial digambarkan secara jelas
identitasnya dan sekaligus status sosialnya.
Analisis lambang identitas
dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak
kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil
lalu.” (Cipta, 2006: 5).
Dan “Lelaki itu
memandang sang opsir yang tak sedikit pun memiliki senyum. Ketika ia beralih
memandang orang Belanda berpakaian sipil dan pesolek itu, ia mendapati kesan
bersahabat pada dirinya. Sinar matanya menunjukkan rasa belas kasihan melihat
hidung dan mulutnya mengeluarkan darah.” (Cipta, 2006: 5).
3.
Ras dan Tubuh
Dalam
cerpen ini, narator menggambarkan latar sebagai orang-orang berpengaruh pada
saat itu. Raden Sumakarto sebagai anak bangsawan yang kuliah di Stovia. Hal
tersebut dapat ditinjau dari segi penggunaan pakaian, kebiasaan, dan
simbol-simbol budaya yang kebelanda-belandaan dan pribumi.
Analisis tetang Raden
Sukmakarto dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti
memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan
anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung,
tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.”(Cipta, 2006: 1).
Analisis tetang salah
Seorang Kolonial dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Ketika ia beralih memandang orang Belanda berpakaian
sipil dan pesolek itu, ia mendapati kesan bersahabat pada dirinya.” (Cipta, 2006: 2).
Dalam
hal pendidikan, dalam cerpen ini tidak hanya menyebutkan tingkat pendidikan
bertaraf internasional yang ditempuh oleh Raden Sukmakarto. Meskipun tidak
menyelesaikan studi, namun Raden Sukmakarto seorang yang memiliki intelektual
tinggi. Berdasarkan hal tersebut, narator menggambarkan kemampuan Raden
Sukmakarto menggunakan kepandaian berbahasa dan kecerdasan berpikir saat
menghadapi masalahnya dengan pihak pemerintah kolonial yang saat itu sebagai
pengusaa.
Analisis pendidikan
Raden Sukmakarto dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di
Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa
anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena
asyik berpesiar ke Eropa.”(Cipta, 2006: 1).
Analisis kecerdasan
Raden Sukmakarto dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur
Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik
kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia
itu tertidur.”(Cipta, 2006: 5).
Dan “Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari
hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.”(Cipta,
2006: 5).
Dalam
cerpen ini, narator menggabarkan beberapa tokoh, Raden Sukmakaro sebagai
seorang pribumi dan beberapa lagi dari Kolonial seperti Gubernur
Jenderal Idenburg, Hooykaas digambarkan sebagai orang Belanda yang memiliki kepekaan terhadap
kesengsaraan yang terjadi pada sesorang. Hal tersebut terjadi ketika ia
menyelamatkan Raden Sukmakaro dari kekerasan yang dilakukan oleh Opsir.
Analisis di atas dapat
dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Sang Opsir
murka dan berniat melayangkan pukulan padanya, namun Belanda pesolek itu
memberikan isyarat supaya ia menghentikan perbuatannya.”(Cipta, 2006: 2).
Opsir Seorang yang
digambarkan sebagai orang yang keras tanpa belas kasihan ia malakukan kekesaran
terhadap Raden Sukmakrato. Opsir tersebut ingin Raden Sukmakarto mendapatkan
hukuman mati dari Gubernur Jendral Idenberg.
Analisis di atas dapat
dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas
menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu
dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha
mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian.” (Cipta,
2006: 4).
BAB III
PENUTUP
Dalam menganalisis sebuah karya dibutuhkan
ketelitian dan kesabaran untuk memperoleh hasil yung maksimal. Namun beberapa
hal tersebut tidak terlepas dari teori, maka penentuan teori juga berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu analisis. Tinjauan
Teori Pasca-Kolonial oleh Prof. Faruk merupakan salah satu teori yang cocok
untuk menganalisis karya yang berkaitan dengan poskolonial. Dalam cerpen Tambo
Raden Sukmakarto, Dwi Cipta menggambarkan berbagai fenomena yang terjadi antara
seorang Pribumi dan tokoh pemerintah kolonial. Digambarkan latar social Raden
Sukmakarto sebagai seorang bangsawan, namun kebangsawanannya tidak cendering
dibahasa dalam cerpen ini. Cerepen ini menggambarkan tentang fenomena
penghakiman kepada Raden Sukmakarto karena menyanyikan lagu kebangsaan Belanda
dalam bahasa Jawa. Tetapi penghakiman yang menimpah Raden Sukmakarto hanya
sekedar kekerasan fisik yang dilakukan oleh osir yang kemudian meminta agar
dijatuhkan hukuman mati pada Raden Sukmakarto. Penghakiman tersebut tidak
berhasil Karena kecerdasan Raden Sukmakarto ketika berhadapan dengang Gubernur
Jendral Idenburg.
Komentar
Posting Komentar