AnalisisStruktur Ruang dan Waktu Novel Sitti Nurbaya (Tinjauan Teori Pasca-Kolonial) oleh Prof. Faruk
Analisis Novel Sitti Nurbaya
(Tinjauan Teori Pasca-Kolonial)
oleh Prof. Faruk
2.
Struktur Ruang dan Waktu
Ruang di dalam novel SN antara lain terbagi
menjadi rumah dan luar rumah, jalan, sekolah, kapal, darat, laut, bumi, langit,
Padang dan Batavia (Jakarta), Padang Hulu dan Padang Hilir, Sedangkan waktu
terdiri dari siang dan malam, gelap dan terang, masa lalu, masa kini, masa
depan.
Analisis ruang di atas dapat dibuktikan dengan
kutipan berikut.
1.
Rumah
“Ketika itu berhentilah bendi tadi di muka sebuah rumah kayu,
bercat putih dan beratap genting, yang dihiasi sebagai rumah Belanda." (Rusli, 2003: 11)
2.
Luar Rumah
“Dari jumlah hasil ini,
diberikan sebagian kepada perempuan, untuk belanja rumah tangga, makanan dan
lain-lain sebagainya; sebagian pula kepada laki-laki, untuk biaya di luar
rumah.” (Rusli, 2003: 46).
3.
Sekolah
“Sekolah Belanda ini saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang
yang tiada tahu bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi.”
(Rusli, 2003: 99).
4.
Kapal
“Di atas kapal, kelasi-kelasi sedang asyik mengerjakan pekerjaan
masing-masing dan mualim-mualim sedang rebut memerintah ini dan itu.” (Rusli, 2003: 141).
5.
Darat
“…, haruslah kita bayar
sewa sampan orang," seraya ia mengeluarkan uang empat sen dari koceknya
dan memberikan uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke darat.” (Rusli, 2003: 58).
6.
Laut
“Temannya yang dipanggilnya Nur tadi ialah Sitti Nurbaya, anak
Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang, yang mempunyai beberapa toko
yang besar-besar, kebun yang lebar-lebar serta beberapa perahu di laut, untuk
pembawa perdagangannya melalui lautan.” (Rusli,
2003: 13).
7.
Bumi dan Langit
“Tak ada perkataan, yang dapat menyatakan perasaan hatiku;
bagaikan putus rangkai jantungku,
bagaikan lulus tempat berdiri, tergantung di awang-awang, antara langit dengan
bumi, antara hidup dengan mati.” (Rusli,
2003: 277).
8.
Padang
“Anak laki-laki yang dipanggil Sam oleh temannya tadi, ialah
Samsulbahri, anak Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang; seorang yang
berpangkat dan berbangsa tinggi.” (Rusli,
2003: 12).
9.
Batavia (Jakarta)
“Oleh sebab ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan
kepada Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada Sekolah Dokter
Jawa di Jakarta.” (Rusli, 2003: 12).
10. Padang Hulu dan Padang Hilir
“Di Padang Hilir dengan Tuanku-Tuanku Penghulu, di Padang Hulu
dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk mencari akal yang baik, supaya dapat juga
menjalankan belasting itu, dengan amannya.”
(Rusli, 2003: 486).
Analisis waktu di atas
dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
1.
Siang
“Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda,
bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka sekolah Belanda Pasar
Ambacang di Padang, seolah-olah mereka hendak memperlindungkan dirinya dari
panas yang memancar dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang
mendidih.” (Rusli, 2003: 3).
2.
Malam
“Aku pun ngeri mendengar bunyi tanda bahaya itu, sehingga pukul
dua malam, tatkala ayahku telah datang, barulah aku dapat tidur.” (Rusli, 2003: 44 ).
Dan “Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang
kucitacitakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk
bersama-sama dengan Samsul kelak, karena ialah jodohmu yang sebanding dengan
engkau.” (Rusli, 2003: 222).
3.
Gelap
“Kelelawar mengirap ke sana kemari dengan deras jalannya, mencari
tempat yang gelap,sebagai orang yang takut kesiangan di tengah jalan.” (Rusli, 2003: 42).
4.
Terang
“Tatkala sampailah ia ke luar, kelihatan olehnya cuaca amat terang,
bukan karena sinar matahari, melainkan karena cahaya bulan, yang hampir
tenggelam di sebelah barat.” (Rusli,
2003: 41).
5.
Masa lalu
“Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepadamu,
karena sesungguhnya engkau rupanya makin lama makin kurang kepada kami. Dahulu
setiap hari engkau dating kemari, makan dan minum di sini dan kadang-kadang
tidur pula di sini.” (Rusli, 2003: 25).
6.
Masa Kini
“Kini tiadalah syak dan wasangka lagi aku akan meninggalkan kota
Padang ini, untuk menjelang negeri orang, Nurbaya!" kata Samsu pula,
sambil memeluk Nurbaya.” (Rusli, 2003: 138).
7.
Masa Depan
“… Oleh sebab itu, kelak
akan hamba kirimkan kepada Engku Datuk, suatu surat perjanjian, bahwa rumah
hamba ini dengan tanah-tanahnya, telah hamba gadaikan kepada Engku dengan harga
3000 rupiah." (Rusli, 2003: 18).
Novel ini dibuka dengan gambaran ruang yang
berupa jalan yang menghubungkan sekolah tempat Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya
belajar dengan rumah mereka masing-masing.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“Lebih baik kita
berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang ke rumah; barangkali di tengah jalan
kita bertemu dengan dia kelak," kata anak perempuan itu pula seraya
membuka paying suteranya dan berjalan perlahan-lahan ke luar pekarangan rumah
sekolah.” (Rusli, 2003: 7).
Berada di antara rumah dan sekolah, kedua tokoh
tersebut merasa menderita. Apalagi pada waktu mereka berada di tempat itu,
mereka seakan dijepit oleh dua ruang yang lain yaitu bumi dan langit. Ada panas
matahari yang memancar dari langit dan ada panas matahari yang menguap dari
bumi. Hanya ada dua hal yang menyelamatkan dan mungkin membebaskan mereka dari
kondisi ruang yang demikian yaitu pohon ketapang tempat mereka bernaung untuk
sementara dan Pak Ali, dengan bendinya, yang akan membawa mereka segera pulang
ke rumah. Rumah, dalam konteks situasi tersebut, menjadi sesuatu yang amat
diharapkan, tempat kebahagiaan dan kesenangan bisa diperoleh dan kebebasan dari
penderitaan dapat diraih.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“Kira-kira pukul satu
siang, kelihatan dua orang anak muda, bernaung di bawah pohon ketapang yang
rindang, di muka sekolah Belanda Pasar
Ambacang di Padang, seolah-olah mereka hendak memperlindungkan dirinya dari
panas yang memancar dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang
mendidih.” (Rusli, 2003: 3).
Dan “Kedua anak muda tadi lalu naiklah ke atas bendi Pak Ali dan dengan
segera berlarilah kuda Batak yang amat tangkas itu, menarik tuannya yang muda
remaja, pulang ke rumahnya diKampung Jawa Dalam. (Rusli, 2003: 9).
Sutan Mahmud mempunyai dua buah rumah, yaitu
rumah keluarga intinya dan rumah keluarga luasnya. Rumah keluarga intinya
adalah rumah tempat ia, istri, dan anaknya tinggal. Rumah keluarga luasnya,
tempat ia berasal dan biasanya, menurut adat Minangkabau, didiami oleh anak
perempuan dari keluarga luas itu atau saudara perempuan dari Sutan Mahmud,
Putri Rubiah. Rumah tempat Sutan Mahmud berasal merupakan rumah lama yang
megah, yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang kaya dan terhormat di lingkungannya.
Dari lokasi dan asesori yang ada di dalamnya tampak bahwa rumah itu sekaligus
memenuhi kriteria status sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat pada
masa itu, menunjukkan kepastian dan ketinggian tempat penghuninya di dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Analisis Rumah keluarga
inti di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Ketika itu berhentilah
bendi tadi di muka sebuah rumah kayu, bercat putih dan
beratap genting, yang dihiasi sebagai rumah Belanda. Anak perempuan
tadi turun dari kendaraan Pak Ali,lalu hendak masuk ke rumah ini.” (Rusli, 2003: 11).
Analisis Rumah keluarga
luas di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan Mahmud, dan Penghulu
ini turun dari atas kendaraannya, lalu naik ke atas rumah ini.
Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung ini kepunyaan seorang
mampu, karena rupanya sederhana, pekarangannya besar dan
dipagar dengan kayu yang bercat hitam.” (Rusli, 2003: 21).
Rumah
Datuk Maringgih berdasarkan struktur atau komposisinya, tidak begitu berbeda
dari rumah keluarga Sutan Mahmud. Keduanya sama-sama rumah tua yang besar. Dua
hal yang membedakannya yaitu masalah perawatannya dan letaknya. Letak rumah
Sutan Mahmud di tempat terbuka, sedangkan letak rumah Datuk Maringgih
tersembunyi. Asesori di rumah Sutan Mahmud terawat, sedangkan asesori di rumah
Datuk Maringgih tidak terawat.
Analisis Rumah Sutan
Mahmud dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Ketika itu berhentilah bendi tadi di muka sebuah rumah kayu,
bercat putih dan beratap genting, yang dihiasi sebagai rumah Belanda.” (Rusli, 2003: 11).
Analisis Rumah Datuk
Maringgih dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Kebanyakan perempuan yang jatuh ke dalam tangan Datuk Meringgih ini, semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain daripada itu, tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya telah
lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaianpuntak ada, selain dari pada kepandaian berdagang.” (Rusli, 2003: 16-17).
Keadaan rumah Datuk Maringgih yang
demikian sejajar dengan diri pemiliknya. Di dalam novel ini Datuk Maringgih
digambarkan sebagai orang yang tidak jelas asal-usulnya. Meskipun bergelar Datuk,
ia bukanlah seorang penghulu. Gelar itu hanya panggilan belaka, sesuatu yang
secara sosial tidak bermakna. Rumah itu merupakan rumah si datuk yang
sesungguhnya. Namun, novel ini mengatakan bahwa pemiliknya sendiri enggan
mengakui bahwa rumah itu adalah rumahnya yang sebenarnya. Rumah itu menjadi
tidak terawat karena Datuk Maringgih seorang yang kikir. Demi uang, ia tidak
peduli akan pandangan orang, termasuk atas rumahnya yang oleh novel ini disebut
antara lain seperti “kandang kambing”.
Analisis Tentang Datuk
Maringgih dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Sungguhpun Datuk
Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon
khabarnya, tatkala mudanya, ia sangat miskin. Bagaimana ia boleh menjadi kaya
sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri.
Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu, ialah ia
amat sangat kikir.” (Rusli, 2003: 16).
Dan “Rumahnya sebagai kandang kambing dan
pakaiannya yang seperti pakaian kuli itu, tiada mengapa baginya, asal jangan
keluar duitnya, untuk sekaliannya itu. "Di luar dibersih-bersihkan, sedang
di dalam perut sendiri tiada terhingga kotornya," demikianlah katanya.”
(Rusli, 2003: 115).
Rumah di dalam
novel ini dipandang sebagai lambang identitas seseorang yang menjadi
pemiliknya. Keterbukaan tempat rumah Sutan Mahmud menunjukkan kejelasan
identitasnya dan sekaligus status sosialnya. Sebaliknya, ketertutupan rumah
Datuk Maringgih menjadi lambang kegelapan masa lalunya, ketidakjelasan
asal-usulnya dan status sosialnya. Tidak ada gambaran yang detail mengenai
bangunan fisik rumah pribadi Sutan Mahmud. Namun, di rumah itulah diadakan
pesta perpisahan untuk melepas keberangkatan Samsul Bahri ke Jawa dengan tujuan
melanjutkan studinya ke wilayah tersebut. Pesta tersebut juga diselenggarakan
dengan sepenuhnya mengikuti cara Belanda atau Barat.
Analisis lambang
kegelapan Datuk Maringgih sebagai berikut.
“Sungguhpun Datuk
Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon
khabarnya, tatkala mudanya, ia sangat miskin. Bagaimana ia boleh menjadi kaya
sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri.
Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu, ialah ia
amat sangat kikir.” (Rusli, 2003: 16).
Analisis
kejelasan identitasnya dan stastus social Sutan Mahmud sebagai berikut.
“Sejurus kemudian musik pun bermain pula, melagukan lagu wals.
Sekalian muda remaja menarilah masing-masing dengan pasangannya.
Samsu menuntun tangan Nurbaya, lalu menari bersama-sama.”
(Rusli, 2003: 123).
Dan “Sementara itu segala kue-kue yang lezat rasanya diedarkan- lah, dibawa kepada sekalian jamu. Demikian pula minumminuman kopi, teh, coklat, sirop, dan limonade.” (Rusli, 2003: 123).
Sutan Mahmud, dalam hubungannya dengan Samsul
Bahri, menjadi bagian dari ruang yang ada di masa depan, ruang kehidupan modern
cara Belanda yang menjiwai rumah pribadi ayah Samsul Bahri di atas. Hal ini
terlihat dalam perkembangan cerita yang lebih jauh, tidak hanya Datuk Maringgih
yang memisahkan Samsul Bahri dari Sitti Nurbaya, melainkan juga ayahnya
sendiri.
Analisis di atas
dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut
sekali-kali. Ke manakah akan
kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah
kaucorengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang sedemikian, bukanlah perbuatan
orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar,
melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik.
Pada sangkaku, engkau bukan masuk bangsa yang kedua itu.” (Rusli, 2003: 229)
Pada saat terjadi keributan akibat pertemuan
tersembunyi antara Samsul Bahri dengan Sitti Nurbaya yang telah menjadi istri
Datuk Maringgih, Sutan Mahmud segera mengusir anak lelakinya tersebut.
Pengusiran itu menyebabkan Samsul Bahri yang sudah pulang dari Jakarta terpaksa
harus pergi lagi ke kota yang ada di Pulang Jawa.
Analisis di tas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud,
"Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat member aib. Pergilah
engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat
demikian, bukan anakku.” (Rusli, 2003: 30).
Datuk Maringgih marah besar karena pertemuan
tersebut. Baginda Sulaiman meninggal karena terkejut mendengan kemarahan Datuk
Maringgih. Setelah ayahnya meninggal, Sitti Nurbaya meminta cerai dan berangkat
ke Jakarta menyul Samsul Bahri. Namun, Datuk Maringgih mengutus anak buahnya
untuk meracuni Sitti Nurbaya hingga perempuan tersebut meninggal.
Analisis di atas dapat
dibutikan dengan kutipan berikut.
“Karena menurut cerita
Alimah, Nurbaya berasa badannya tak enak sesudah memakan lemang itu, diambillah oleh dokter lemang
yang tinggal lagi dengan kue-kue lain, akan disuruh diperiksanya. Pada keesokan harinya nyatalah kepadanya, bahwa Nurbaya termakan
racun. Itulah yang menyebabkan mautnya.” (Rusli,
2003: 416).
Gerakan bolak-balik
antara Padang dengan Jakarta merupakan struktur yang paling dasar dari
keseluruhan cerita dalam novel ini. Samsul Bahri mencoba bunuh diri setelah
meninggalnya Sitti Nurbaya, namun gagal. Ia tetap hidup, bekerja sebagai
tentara dan maju ke medan perang di Aceh untuk menemukan kematiannya, namun
tetap gagal dengan usahanya itu.
Analisisi
di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
”… Lain daripada itu
membabi buta dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikanhajatku, karena aku
sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah yang diberikan kepadaku, sebab
sangka orang, aku gagah berani dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi
letnan." (Rusli, 2003: 474).
Akhirnya, ia terdampar kembali ke Padang dan
mati serta dikubur bersama kerabatnya di Gunung Padang, tempat kelahirannya.
Analisisi
di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
Setelah jenazah Samsulbahri dibawa ke mesjid dan disembahyangkan di
sana, barulah dibawa ke Gunung Padang, tempat makam yang diminta oleh yang
meninggal. Setelah sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam kubur, yang letaknya
antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya, kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan umurnya, lalu
diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.” (Rusli, 2003:
536-537).
Dari segi waktu, novel ini
memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk membuat masa lalu, masa kini, dan
masa depan bertumpang-tindih. Masa kini yang membahagian terus-menerus
dibayangi oleh masa depan yang mengerikan dan menakutkan, atau harapan akan
masa depan selalu dibayangi oleh masa kini yang dengan kuat mengikat. Waktu
menjadi seakan terhenti, setidaknya tidak dapat bergerak dengan cepat dalam
novel ini.
Analisisi
di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
" Engku belum
tahu rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan mereka. Tetapi hamba
ini, bukan sehari dua hari kenal pada Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab itu tahu benar hamba
akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna, hendak berkeras saja;
apa-apa maksudnya harus terjadi…”(Rusli, 2003: 504).
Dan “Yang hamba pikirkan, ialah akhir kelaknya. Jika melawan,adakah
akan dapat kemenangan? Karena Belanda banyak
serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi
sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada bertentu;
sedang belasting harus juga dibayar." (Rusli,
2003: 505).
Sumber Kutipan :
com/2016/04/siti-nurbaya-kasih-tak-sa.pdf (Diakses
15 Januari 2016)
Komentar
Posting Komentar