Analisis Struktur Naratif Novel Sitti Nurbaya (Tinjauan Teori Pasca-Kolonial) oleh Prof. Faruk


Analisis Novel Sitti Nurbaya
(Tinjauan Teori Pasca-Kolonial)
oleh Prof. Faruk

1.      Struktur Naratif
Cerita dalam novel Sitti Nurbaya (SN) dituturkan dengan teknik naratif “orang ketiga mahatahu”. Narator berada di luar cerita, namun mengetahui hampir semua hal mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh-tokoh cerita dan juga lingkungan yang ada di sekitarnya, yang mungkin bahkan tidak diketahui oleh tokoh-tokoh yang bersangkutan.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“…, kelihatan dua orang anak muda, bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, …” (Rusli, 2003: 3).

Cerita dalam novel SN dimulai dengan gambaran narator mengenai diri Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya sewaktu mereka sedang berada di bawah sengatan matahari karena menunggu Pak Ali yang akan menjemput mereka pulang dari sekolah.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“… seolah-olah mereka hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih.” Dan “Tiada berapa lama kemudian, berhentilah di muka anak muda  ini sebuah bendi yang ditarik oleh seekor kuda Batak. Rupanya kuda ini telah lama dipakai, karena badannya basah dengan  peluh. Di atas bendi ini duduk seorang kusir, yang umurnya kirakira 45 tahun, tetapi badannya masih kukuh.” (Rusli, 2003: 3).

Narator kemudian menggambarkan penampilan pertama orang tua yang bernama Datuk Maringgih dari posisi yang jauh dan selintas sehingga tokoh itu terkesan sebagai sebuah misteri, menyembunyikan rahasia yang belum diketahui bahkan oleh naratornya sendiri. Setelah cerita berkembang agak jauh, narator melihat tokoh Datuk Maringgih dari dekat, mengutarakan perasaan dan sikapnya terhadap tokoh itu.


Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Itulah Datuk Meringgih, saudagar Padang yang termasyhur kayanya, sampai ke negeri-negeri lain. Pada masa itu, di antara saudagar-saudagar bangsa Melayu di padang, tiada seorang pun dapat melawan kekayaan Datuk Meringgih ini.”(Rusli, 2003: 15).

      Narator dapat memperlihatkan kepada pihak mana, kepada tokoh-tokoh cerita yang mana, ia berpihak, bersimpati, dan kepada pihak mana, tokoh-tokoh yang mana ia bersikap anti pati. Di dalam novel ini, narator jelas berpihak dan merasa simpati terutama kepada Samsul Bahri, Sitti Nurbaya, serta juga kepada Baginda Sulaiman, Sutan Mahmud, dan lain-lain. Perasaan anti pati narator ditujukan terutama kepada Datuk Maringgih serta juga kepada Sutan Hamzah dan Putri Rubiah.
Keberpihakan narator pada Samsulbahri dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Anak ini telah duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang. Oleh sebab ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan kepada Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.” (Rusli, 2003: 12).

Keberpihakan narator pada Sitti Nurbaya dapat dilihat dari kutipan berikut.
“…, karena bukan rupanya saja yang cantik, tetapi kelakuan dan adatnya, tertib dan sopannya, serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan parasnya.” (Rusli, 2003: 13).

Keberpihakan narator pada Baginda Sulaiman dapat dilihat dari kutipan berikut.
“…, sebagai disengaja dibakar orang, bukan terbakar sendiri? Akan tetapi siapa pula yang akan berbuat sedemikian? Baginda Sulaiman tak ada musuhnya. (Rusli, 2003: 206).

Keberpihakan narator pada Sutan Mahmud dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya pun baik; pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil, dan lurus dalam pekerjaannya.” (Rusli, 2003: 20).
Keberpihakan narator pada Sitti Maryam dapat dilihat dari kutipan berikut.
“"Biarpun telah dihukum, belum tentu lagi bersalah, karena  hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam.” (Rusli, 2003: 236).

Keantipatian narator pada Datuk Maringgih dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Bagaimana ia boleh menjadi kaya sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu, ialah ia amat sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia rasanya berbunuhan.” (Rusli, 2003: 16).

Keantipatian narator pada Sutan Hamzah dapat dilihat dari kutipan berikut.
"Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di lain-lain tiada sebagai dia?" jawab Sutan Hamzah.” (Rusli, 2003: 98).

Keantipatian narator pada dapat dilihat dari kutipan berikut.
"Ah, tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi  Penghulu sekalipun, engkau akan lupa juga kepada kami dan rumah ini," kata putri Rubiah pula. "Semenjak engkau telah kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan anak dan istrimu, serta rumah tanggamu saja." (Rusli, 2003: 26).

Novel SN yang bercerita mengenai keterlibatan Datuk Maringgih dalam sebuah pemberontakan melawan pemerintah kolonial dan keterlibatan Samsul Bahri sebagai tentara kolonial Belanda yang ikut nenumpas pemberontakan tersebut memperlihatkan kerangka sikap narator sebelumnya menjadi sekaligus kerangka sikapnya terhadap Pemerintah kolonial di satu pihak dan pemberontak di lain pihak.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
”Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya, lalu berkatalah ia, “Datuk Meringgih! Benarkah engkau ini?” (Rusli, 2003: 158).

Keberpihakan narator pada Samsul Bahri berarti keberpihakannya pada Pemerintah kolonial, sedangkan anti patinya terhadap Datuk Maringgih berarti anti patinya terhadap rakyat yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial tersebut. Namun, di dalam novel ini posisi narator tidaklah tunggal.
Keberpihakan narator pada Samsul Bahri dalam analisis di atas dapat dilihat dari kutipan berikut.
Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan kepadamu itu tiada memberi paedah bagi dirimu sendiri, bagi sesamamu manusia  dan bagi isi dunia ini; melainkan mendatangkan kesenangan dan kedukaan juga kepada mereka sekalian dan kepada dirimu sendiri pun.” (Rusli, 2003: 159).

Keantipatian narator pada Datuk Maringgih dalam analisis di atas dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamumanusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan mendatangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi negeri. Tiada layak engkau dikurniaiTuhan senjata yang sekuat itu.” (Rusli, 2003: 521).

      Saat narator hanya melihat dari luar dan dari jauh, apa yang dituturkannya dapat mengecoh pembaca sehingga misalnya mengira yang bukan anak Belanda sebagai anak Belanda, begitu pun sebaliknya.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
"Pada mukaku tentu telah nyata kepadamu, aku ini bukan bangsa Eropah, melainkan anak Indonesia," Demikian permulaan cerita Letnan Mas.” (Rusli, 2003: 472).

Sepuluh tahun setelah peristiwa bunuh dirinya, Samsul Bahri muncul kembali di Padang dengan penampilan sebagai seorang tentara Belanda yang akan menumpas pemberontakan di wilayah itu.
”… Lain daripada itu membabi buta dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikanhajatku, karena aku sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah yang diberikan kepadaku, sebab sangka orang, aku gagah berani dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi letnan."  (Rusli, 2003: 474).

Terhadap kehadiran Samsul Bahri yang baru itu, narator menempatkan diri dalam posisi yang jauh, hanya melihat penampilan permukaannya, sehingga seakan tidak mengenalnya sebagai Samsul Bahri yang sudah dituturkan sebelumnya. Pakaiannya menunjukkan bahwa orang itu adalah tentara Belanda, bahasa yang digunakannya adalah bahasa Belanda, tetapi kulitnya, rambutnya, dan matanya yang hitam menunjukkan bahwa lelaki itu orang Indonesia. Baru setelah cerita berkembang cukup jauh, narator masuk ke dalam pikiran dan perasaan tokoh yang ternyata bernama Letnan Mas alias Samsul Bahri.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“…, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi, peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik  rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah  seorang anak yang disayangi.” (Rusli, 2003: 534-535).

     Problematik posisi narator di hadapan Belanda dengan segala tokoh yang merepresentasikannya, juga merupakan problematiknya posisi tentara kolonial yang berkebangsaan Indonesia dalam jaringan birokrasi militer kolonial. Kecenderungan demikian terjadi pula pada Sutan Mahmud sebagai PP dalam birokrasi kolonial.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
"Bukan demikian, Kakanda! Maklumlah hal kami pegawai Pemerintah! Pekerjaan tiada berkeputusan: rodi, ronda, perkara jalan, perkara polisi, perkara ini dan itu, tidak berhenti," jawab Sutan Mahmud. (Rusli, 2003: 24).

Pada masa remajanya, Samsul Bahri bahkan mengatakan kepada teman-temannya bahwa seorang pegawai seakan menghadapi apa yang disebut dalam pepatah “bagai bertemu buah si mala kamo”. Artinya, menjadi pegawai seakan berhadapan dengan dilema antara melaksanakan kepentingan pemerintah di satu pihak dengan mendengarkan atau melayani kepentingan masyarakat di lain pihak.  
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
"Tentu tak dapat," jawab Samsu. "Memang bagi seorang pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai bertemu buah si mala kamo*). Dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?" (Rusli, 2003: 64).

Di dalam novel ini, konflik kepentingan antara Pemerintah kolonial dengan rakyat juga berlaku dalam pemberontakan di Padang. Pemberontakan rakyat mengenai persoalan pajak di Padang melibatkan Datuk Maringgih dan yang membuat Samsul Bahri datang kembali ke Padang untuk menumpasnya.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini  dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya dapat ditariknya ke mana sukanya? Kita ini bukan binatang, melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala, berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang datang? Adakah patut, limau dialahkan bendalu?"(Rusli, 2003: 502-503).

 dan“Oleh sebab pada sangkanya, Pemerintah berbuat tak semenamena kepada mereka, ditetapkannyalah, tiada hendak membayar belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan.” (Rusli, 2003:507).

      Berbeda dengan sikapnya terhadap banyak peristiwa sebelumnya, terhadap peristiwa perdebatan antara pemerintah kolonial Belanda dengan rakyat dalam persoalan pajak narator sama sekali tidak memperlihatkan sikap dan pandangannya, tidak mengutarakan sikap simpati atau pun anti patinya. Sesuai dengan netralitasnya itu, peristiwa-peristiwa di atas digambarkan lebih secara dramatis, melalui dialog langsung, daripada melalui penuturan narator. Penuturan dramatis dan dialogis tersebut membuat pembaca dibiarkan oleh narator untuk membuat penilaian dan mengambil sikap sendiri terhadap peristiwa yang dituturkan itu.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang,  orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata, menjawablah beberapa orang daripada yang hadir.” (Rusli, 2003: 494).
  
Pada bagian selanjutnya, narator segera mengambil posisi yang lebih dekat ke arah Datuk Maringgih dengan melihat motif-motif yang ada di dalam pikiran datuk tersebut, melihat kegiatan-kegiatan gelapnya, dan juga memberikan komentar atau penilaiannya terhadap kehadiran Datuk Maringgih.
Analisis di atas dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
"Apa lagi?" tanya Datuk Maringgih kepada orang yang menjawab tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi kita burung tiung." (Rusli, 2003: 502).

Narator, dengan peralihan-peralihan posisi dan jarak tersebut  telah memperlihatkan posisinya yang mendua dia antara berpihak kepada rakyat dan berpihak kepada Belanda sebagaimana halnya posisi tokoh-tokoh pegawai pemerintah kolonial yang digambarkannya. Kemenduaan itulah yang membuat citra diri Samsul Bahri menjadi ganda dalam novel ini, yaitu dapat terkesan sebagai Belanda, tetapi sesungguhnya seorang pribumi. Kegandaan citra yang demikian juga berlaku bagi Datuk Maringgih.
Citra diri Samsul Bahri majadi ganda dibuktikan dengan kutipan berikut,
”Samsulbahri adalah seorang yang baik budi, peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik  rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa kesukaran peperangan.” (Rusli, 2003: 535).

Citra diri Samsul Bahri majadi ganda dibuktikan dengan kutipan berikut,
Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang mendengarnya dan hal itu lekas dimaklumi oleh Datuk  Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya, "Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati. Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih sempurna memelihara daripada kami." (Rusli, 2003: 535).

      Aspek lain dalam novel SN adalah adanya banyak intervensi terhadap plot cerita, baik intervensi yang berupa komentar-komentar narator, cerita-cerita lepas, diskusi yang panjang, nasihat-nasihat, maupun yang berupa pidato. Intervensi narator cenderung sejajar dengan situasi tindakan dan usaha-usaha atau gerakan yang terhambat.
Berikut salah satu dari sekian banyak aspek yang dimaksud dalam analisis di atas.
" Engku belum tahu  rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna, hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi.  Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa yang tinggi?” (Rusli, 2003: 504).

Sumber Kutipan :
Rusli, Mara. 2003. Siti Nurbaya Kasih yang Tak Sampai. https://spensabayalibrary.files.wordpress.
com/2016/04/siti-nurbaya-kasih-tak-sa.pdf (Diakses 15 Januari 2016)


Komentar

Postingan Populer