Sinopsi Novel Azizah Karya Emmah Azra
Novel Azizah dimulai dengan percakan
meresahkan terjadi di antara Ramli Hasan dan Andi Azizah. Dalam percakapan pagi
itu mereka membahas sebuah kesepakatan yang telah ada antara Ramli Hasan dengan
Kahar Muzakar. Kahar Muzakar pelopor Darul Islam atau Tentara Islam Indonesai
(DI/TII) di Sulawes. Ia merupakan salah seorang pengawal yang dekat Soekarno
semasa memerdekakan Indonesia. Kahar Muzakar melakukan memberontak setelah
adanya ketiksepahaman antara DI/TII dengan Tentara Negara Indonesia (TNI).
Kahar Muzakar bertekad mendirikan negara Islam yang ditentang besar-besaran
oleh Soekarno dan TNI. Dari pertentangan ini, Kahar Muzakar membentuk kekuatan
pasukan tentara yang terdiri dari beberapa batalyon dan menyisir sebagian
wilayah Sulawesi, Khususnya sebagaian besar wilayah Sulawesi Selatan.
Ramli Hasan berusia 25 tahun
merupakan putra dari pemuka agama dari Palopo, H. Hasan yang mengaut Islam moderat
yang disebut dengan Islam Muhammadiyah. Seorang pemuda yang dikenal dengan
pemuda terpelajar, lulusan salah satu perguruan tinggi dari Makassar. Ia juga
seorang yang paham tentang Quran dan Hadis serta menguasai bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Baru setahun Ramli menikah dengan Azizah, putri salah kepala kampung ternama di Pongko Ayah
Azizah mengakhiri nyawanya dengan melakukan terhadap penjajah agar pergi dari
kampung kekuasaannya. Dalam pernikahan itu, Ramli dan Azizah dikaruniahi tiga
orang anak perempuan yang diberi nama Masyita, Nur Dais, dan Myrdawina.
Hari itu juga Ramli memanggil Uwak
Saleh untuk menjemput dan mengantarkan Azizah pada ibu Raodah, mertua Azizah di
Palopo. Keberangkatan Azizah ke Palopo karena mengingat keadaan yang genting, Ramli
harus pergi melaksanakan tugasnya sebagai Rayon DI/TII di Makale. Pada 8
Agustus 1952 Rayon Ramli dan Rayon-rayon lain memutuskan sesuatu yang mengukir
catatan kelam pajang dalam sejarah Sulewesi Selatan. Mereka bersepakat memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini.
Sebelum matahari terbit mereka meninggalkan bumi Makale.
Hingga berbulan-bulan Azizah selalu
dihampiri kegelisahan menanti kabar dari suaminya. Bulan keenam Ramli mendapat
gelar komandan dan mengutus Ranudi menjemput istrinya di Palopo. Keberangkatan
Azizah memenuhi panggilan suaminya terhambat kesepakatan yang mencekal. Kesepakatan
yang berlaku bahwa orang dari wilayah kota dan wilayah hutan tidak boleh
bertemu, jika mereka melanggar, akan ada interogasi yang dilakukan oleh antara
pihak TNI dari wilayah kota dan DI/TII dari wilayah hutan. Karena beberapa
strategi yang disusun oleh Uwak Saleh, Pak Barton, dan Pak Bahri, Azizah
berhasil meninggalkan Palopo melalui penyamaran jalur laut. Dalam keberangkatan
Azizah didamping oleh Uwak Saleh, anak, dan istrinya. Uwak Saleh dan
keluarganya meninggalkan kemewahan mereka untuk berjuang bersama pasukan Ramli.
Pasukan yang dijuluki dengan nama gorilla atau sering kali disebut dengan
gerombolan.
Setelah diketahui oleh TNI bahwa
Ramli adalah salah satu yang memimpin pemberontakan, TNI berkali-kali melakukan
pengintaian tehadap Ramli dan Azizah. Keberangkatan Ramli ke Rampoan bertepatan
dengan persiapan pernihakaan iparnya. Azizah bersama Lahabe berpapasan dengan
Ramli di sungai Lino menuju Balease. Ada
peringatan bahwa pemali berpapasan saat berpergian, namun Ramli menganggap hal
tersebut sebagai mitos yang berupa kesyirikan. Di tengah perjalanan Aziazah dan
Lahabe melihat TNI atau Angkatan Perang, sontak mereka mencari jalan menuju ke
Pissaluang untuk bersebunyi. Di Pissaluang mereka bertemu dengan Uwak Jakri dan
istrinya, Uwak Rosa yang telah lama hidup di sana. Tempat terpencil dan aman yang
mereka temukan saat mengasingkan diri dari kampung. Tempat tersebut sulit
ditemukan orang-orang, Lahabe menitipkan Azizah dan Masyita di Pissaluang kemudian
bergegas mengabari ibunda, Ibu Azizah.
Lahabe mencoba mengintai dari atas
pohon memastikan keberaan Angkatan Perang itu, dan turun dengan selamat
meskipun sempat berpapasan dengan ular besar di atas pohon tempat ia mengintai.
Sebelum ke Balease, Lahabe terlebih dahulu ke Pongko untuk memastikan keadaan
melalui jalan hutan dan semak. Di semak penggujung kampung ia bertemu dengan
Ibnu yang meloloskan diri dan bersembunyi dari pembumihangusan Angkatan Perang
di wilayah Pongko.
Mendangar kabar Batangtongka dan
Pongko dibumihanguskan, Ramli berlayar kembali. Setiba di Pongko mereka hanya
melihat sisa-sisa tiang yang hangus terbagakar. Melihat keadaan itu, Abas yang baru
berusia 18 tahun tidak sabar ingin menyergap Angkatan Perang yang pelopiri oleh
Lenan satu Haris Hermawan yang menjadi dalang pembumihangusan. Kapal belum
berhenti, Abas melompat terlebih dahulu ke dermaga yang kemudian disusul oleh
teman-temannya untuk menyergap Angkatan Perang. Sterategi penyergapan yang
dilakukan Abas dan teman-temannya membuat Letnan Haris Hermawan pusing dengan
serangan yang lontarkan oleh kelompok Abas. Tetapi keberadaan komplotan Abas
ditemukan oleh Angkatan perang dan mereka nyaris tertanggkap, beruntung Ranudi
dan pasukannya datang tepat waktu. Lalu terjadi tembak-menembak yang
mengakibatkan beberapa orang dari kedua pihak terluka dan senyap seketika.
Setelah peristiwa pembuminghusan,
warga Pongko memutuskan mengungsi ke tepi sungai Balease. Mereka bekerja sama
mebangun pemukiman di sana. Tetapi selama pengugsian mereka tidak mendapat
ketenangan. Tempat mereka mengungsi tidak permanen dan serign kali berpindah
karena Angkatan menemukan hingga mendesingkan peluruh dari udara ke mana pun
mereka bermukim.
Edwar dan Edina banyak membantu
keluarga Ramli selama berpergian. Sepasang anak kembar yang dipungut oleh Ramli
karena terasingkan dari keluarga dan lingkungannya. Edwar dan Edina, hasil
perkawinan penjajah dari Belanda dangan gadis cantik di gunung Lamasi.
Keberadaan mereka mambuat Azizah tidak kewalahan mengurus Masyita, Nur Dais dan
Myrdawina. Suatu saat Azizah harus kehilangan anak laki-lakinya, Abdillah yang meninggal
kerena sakit. Azizah sangat terpukul dengan peristiwa kepergian Abdillah dan saat
itu Ramli berada di tempat bertugasnya. Kepergian Abdillah membuat Azizah terpuruk
dan seakan ingin marah pada siapa saja termasuk suaminya. Kepergian Abdilah
membuat hubungan mereka menjadi renggan. Ibunda berusaha memperbaiki hubungan
mereka dengan mengutus Ramli dan Azizah menjadi wali untuk melamarkan calon
istri Samsul Bahri, Adik Azizah. Tetapi masalah berdatangan satu persatu, mulai
dari tersanderanya Johan dan Pak Barto oleh Pasukan Mayor Rahmat DI/TII yang
dianggap mata-mata, penyerbuan Angkatan Perang di Makitta, hingga Ramli
menganggap Azizah, Uwak Selah dan Ranudi dianggai sebagai penghianat karena
merelapaskan Pak Barto dari tempat penyanderaan.
Belum lama hubungan mereka baik,
datang kembali panggilan tugas Mayor Ramli. Kali ini tempat tugasnya lumayan
jauh dan keberangkatannya akan memerlukan waktu yang lama. Saat itu Ramli telah
mejabat sebagai Mayor harus pergi ke Polewali, meninggalkan Azizah yang sedang
mengandung. Keberangkatan Ramli menciptakan keresahan dalam hidup Azizah,
hingga ia harus menghadapi kemabali peristiwa yang penuh ketengangan, yaitu
melahirkan Wina tanpa didampingi Ramli. Selama keberangakaran Ramli, pemukiman
dijaga oleh kapten Rahman dan Mayor Aripin Hamzah sebagai pimpinan Batalyon 1,
Mayor Aripin Hamzah menerima kabar tentang kunjungan Panglima Ahmadi. Kunjungan
itu tertuju pada Azizah sebagai ibu Mayor
Ramli. Dalam kunjungannya, Panglima Ahmadi hanya ingin menyampaikan permohonan
maaf karena tidak membawa serta Ramli pulang. Selain itu ia juga menyampaikan
kabar yang membuat Azizah marah besar. Kabar tentnang Ramli telah menikah lagi
dengan salah satu perempuan terpandang di Polewali. Kedatang kabar itu membuat Azizah
merasa hidupnya semakin berat. Tidak ada lagi yang ia ingin dengarkan kabar
yang berkaitan dengan Ramli. Ibunda hanya bisa menasihatinya dengan kata sabar.
Tidak lama kemudian, Ramli mengutus
Judin menjemput Azizah untuk menyusul ke Polewali, penggilan itu ditolak
melalui Uwak Saleh sebagai perantara. Kemudian Ramli kembali mengutus Ranudi
untuk menjemput Azizah, kali itu Azizah memenuhi permintaanya. Sebelum
berangkat ia berpamitan pada orang-orang yang berdatangan saat tersebar kabar Azizah
akan pindah. Di dalam perjalanan, Azizah sempat singgah di Palopo untuk bertemu
Ibu Raodah. Selama di Palopo ibu Roadah
berusaha menguatkan Azizah melalui nasihat-nasihatnya. Ia mengajarkan tentang berbgagai
arti kesabaran dan intoleransi. Tetapi perlakuan Ramli di luar dari kewajaran, Ibu Raodah meminta
Azizah untuk menghakimi Ramli atas perlakuannya.
Situasi stabil karena telah ada
perundingan antara Angkatan Perang dengan DI/TII untuk dapat keluar masuk
wilayah dengan beberapa persyaratan telah disepakati. Pak Bahri mengantar mereka
ke markas batalyon 27 DI/TII. Di sana Azizah bertemu dengan Nursiah yang sedang
mengandung anak Ramli. Dengan mata berkaca-kaca Azizah berkenalan dengan orang
baru yang menyambut kedatangan mereka. Suatu waktu Azizah memberontak karena
saat ia bangun Ramli berada di rumah istri mudanya. Terjadi pertentangan yang dasyat,
mulai dari penodongan pistol di kepala Ramli sampai ancaman untuk bercerai dari
Azizah. Selama itu Azizah tidak menggap Ramli sebagai Suaminya. Karena situasi saat
itu memanas, Ramli menyuruh istri mudanya untuk sementara pulang kepada
orangtuanya. Azizah tinggal di salah satu rumah warga dan tidak ingin kembali
kecuali dengan satu syarat. Ia akan tinggal bersama Ramli, namun ia tidak
menggap Ramli sebagai suaminya lagi. Azizah mulai berubah dan kembali menerima
Ramli setelah mendapat nasihat dari Daeng Roiso dan Daeng Banggolo. Baru usai
masalah antara Ramli dan Azizah, kabar tentang kehancuran kota Polewali
dibombardir oleh tentara Siliwangi sampai kepada Ramli. Dengan berat hati Ramli
meyuruh Azizah untuk kembali ke tempat pengungsian. Di pengungsian, Azizah
selalu dihampiri kegelisahan gelisah saat menunggu kabar suaminya. Hinga terdengara
kabar, Ramli dan pasukanya telah menyerahkan diri dan menjadi tehanan Angkatan
Perang. Azizah meminta pak Mardin mencarikan tempat untuk mereka di Polewali.
Judin menjemput dan mengatarkan Azizah ke tempat yang telah dicarikan oleh Pak
Mardi. Di tempat baru itu, Azizah tidak menyewa rumah karena mereka tinggal di
rumah keluarga dari Palopo. Komandan Angkatan Perang atau tentara Siliwangi
prihatin dengan kodisi Azizah dan memanggil mereka pindah di sebuah rumah depan
markas tempat Ramli di tahan.
Di penghujung tahun 1964 Ramli dibebaskan,
namun masih menjadi tahanan kota yang wajib melapor setiap ingin berpergian ke mana
pun. Setelah kebabasan itu, Ramli mengunjungi istri mudanya. Ia diusir serta
menerima permintaan dari mertua laki-lakinya untuk menceraikan anaknya.
Ramli dan Azizah memutuskan untuk
pergi tanpa ingin diketahui oleh orang-orang di wilayah Mandar. Di perjalanan
mereka singgah di sebuah rumah makan, mereka bertemu sopir truk yang membayarkan
biaya makan mereka. Ternyata sopir itu salah seorang yang pernah ditolong oleh
Ramli. Mereka dipanggil ikut bersamanya dengan menumpangi truk hingga tiba di
sebuah rumah. Di rumah itulah Ramli dan keluarganya tinggal sementara untuk bertahan
hidup. Sepulang sekolah Edwar membawakan berita yang diperoleh dari orang-orang
di pasar. Tahun 1965 satu berita mengguncang Sulawesi bahwa Kahar Muzakar telah
ditembak mati oleh Yonif 330/PARA Kujang satu dipimpin oleh Yogi Subroto
bersama Umar Sumarsono dan Sitong Panjaitan.
Komentar
Posting Komentar