Metode Etnografi SASIND UHO
A. Metode
Etnografi-Antropologi
a.
Metode Etnografi
Saya memulai tulisan
saya dengan istilah metode etnografi. Bukan metodologi etnografi. Perbedaannya
tentu cukup jelas. Metodologi etnografi adalah ilmu tentang metode etnopgrafi,
sedangkan metode etnografi adalah strategi pencapaian ke etnografi dalam mendeskripsikan
sesuatu dari lapangan penelitian atau sejenisnya.
Etnografi adalah
metode yang paling lazim digunakan di dalam berbagai penelitian antropologi.
Berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca, secara singkat dapat
dirumuskan, bahwa metode etnografi adalah strategi pendeskripsian pola-pola
berkomunitas suatu suku bangsa di wilayah tertentu. Terutama dalam konteks suku
bangsa di Indonesia yang memiliki perbedaan ‘eksotis’ antara satu dengan yang
lainnya.
Metode ini lahir
hampir bersamaan dengan lahirnya ilmu antropologi yang sekaligus menjadi embrio
dikenalnya ilmu ini; ilmu yang lebih banyak mengandalkan pengamatan dan
analisis terhadap perkembangan kebudayaan manusia berkomunitas, dari waktu ke
waktu yang sarat dengan berbagai perubahan, sebagai sebuah keniscayaan.
Meskipun dalam
perkembangannya kini, metode atnografi juga banyak digunakan oleh disiplin ilmu
lain, seperti sejarah, sosiologi, psikologi, dan sederet ilmu pengetahuan
sosial lainnya, bahkan merambah hingga ke metode penelitian kesehatan
masayarakat, seperti kedokteran, penyuluh kesehatan masyarakat dan lain-lain.
Sehingga secara
singkat dapat dipahami, bahwa metode etnografi dalam konteks antropologi,
adalah penelitian yang menganalisis bagaimana manusia membangun komunitas dan
pola kebudayaannya masing-masing, dalam bentuk dan performa yang berbeda-beda,
tentunya.
Etnografi atau yang
biasa pula disebut dengan field work adalah merupakan acuan yang
paling banyak digunakan di dalam penelitian antropologi, lewat metode
partisipasi observasi, dengan melibatkan diri peneliti secara langsung ke dalam
masyarakat (subjek) yang ditelitinya atau yang dianalisisnya.
Itulah sebabnya
sehingga peneliti dalam konteks etnografi, lebih banyak mengandalkan observasi
di awal penelitiannya dan partisipasi (kedekatan) dengan subjek penelitiannya
selama research (penelitian) berlangsung.
Sebab untuk
menganalisis berbagai aktivitas, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan masyarakat
terhadap sesuatu, atau terhadap subjek penelitian, peneliti harus lebih intens
berkomunikasi dengan masayarakat, terutama tokoh-tokohnya, atau para penentu
kebijakan di masyarakat tersebut.
Kedalaman komunikasi
itu akan sampai ke tingkat dialektika, baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah (dalam penelitian yang lebih serius dan dalam jangka waktu yang lama).
Dengan metode seperti ini, keterlibatan peneliti atau penulis dengan subyek
yang diteliti, dalam pola kedekatan, termasuk lewat wawancara mendalam (indept
interview), akan lebih mempermudah peneliti mendapatkan data-data yang
dibutuhkan. Sebab metode indept interview, bertujuan untuk menemukan
dan mengetahui kebudayaan informan yang diteliti (Spradley, 1997:114)
b.
Persiapan Sebelum ke Lapangan
Penelitian
Beberapa persiapan
perlu dilakukan sebelum turun ke lokasi penelitian. Baik persiapan fisik,
mental, dan yang tak kalah pentingnya, berbagai peralatan penunjang (property)
yang sangat menentukan berhasil dan tidaknya sebuah penggalian data dilakukan.
1. Persiapan Lahiriah-Batiniyah
Persiapan
lahiriah-batiniyah (fisik-psikis), adalah sebuah persyaratan mutlak bagi
seorang peneliti. Mobilitas yang tinggi mulai dari persiapan ke lapangan,
perjalanan menuju lapangan, hingga (terutama) ketika berada di lapangan, sangat
menguras tenaga yang tidak sedikit. Makanan dan minuman yang sehat tentu
dibutuhkan.
Jangan lupa suplay
vitamin yang berhubungan langsung dengan kerja fisik, terutama yang memiliki
kandungan zat besi (tenaga) dan lain-lain. Atau yang lebih baik, gunakanlah
suplay vitamin herbal, alami, atau yang langsung dari alam, seperti madu dan
lain-lain.
Sementara untuk
persiapan psikisnya (batiniyah), hubungan vertikal kepada sang khalik, atau
kekuatan ideologi (termasuk ideologi pancasila), keyakinan pribadi dan pola
pikir yang positip, tentu akan sangat membantu dalam menjaga psikologi peneliti
ketika berada di lapangan. Apalagi ketika peneliti memasuki wilayah-wilayah
baru yang berbeda dengan kultur dan keyakinan peneliti sendiri. Artinya,
gangguan mental (psikis) juga dapat mengganggu jalannya penelitian yang
dilakukan jika tidak hati-hati dan menyepelekannya.
2. Persiapan
Pendukung dan Property yang Dibutuhkan
Sebelum berangkat ke
lapangan penelitian, siapkanlah berbagai kebutuhan pendukung, terutama yang
berhubungan dengan status legal-formal peneliti. Seperti surat pengantar dari
lembaga yang menjadi payung penelitiannya, jika sifatnya pribadi, siapkanlah
KTP, SIM, atau dan lain sebagainya (mungkin termasuk surat bebas komunis dari
kepolisian atau kodim… kwakaka…), surat resmi untuk lembaga-lembaga yang dituju
di lokasi penelitian setempat, seperti Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Bappeda
(Kabupaten), Depag–jika berhubungan dengan agama, dan lain-lain.
Kemudian property,
siapkanlah print out guide lines (acuan umum penelitian), perkiraan
daftar pertanyaan yang masih mungkin bisa dikembangkan di lapangan, alat tulis:
pulpen, potlot dll, recorder, audio vidio, mungkin-laptop,
kamera/tustel, field not (buku kecil untuk catatan srabutan),
diari/buku monyet (catatan harian: jangan lupa jam, hari, tanggal, bulan dan
tahun setiap kali mencatat), jurnal/buku king kong (laporan lengkap temuan/data
yang didapatkan, disari dari buku diari/buku monyet) per tiga hari atau paling
lama satu minggu (pengalaman saya biasanya, saya susun langsung ke dalam laptop
agar tak kerja dua kali-terlepas dari kekurangan kelebihannya), dan hal-hal
lain yang mungkin dibutuhkan untuk konteks penelitian tertentu.
c.
Strategi/Metode Etnografi di Lapangan
Lebih jauh, James P.
Spradley dalam Metode Etnografi (1997) menjelaskan, bahwa
metode etnografi adalah merupakan pekerjaan mendeskripsikan sebuah kebudayaan.
Tujuan utamanya adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk
asli (native’s point of view). Sehingga data yang dikumpulkan
adalah data kualitatif. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan
aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar berbagai hal dari
mereka (Spradlay, 1997:3).
Hal ini juga
dikuatkan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang
penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya
mengenai dunianya (Dikutip Spradley, 1922:25).
Itulah sebabnya,
sehingga sejak awal, dimulai dari ketika pertama kali sang peneliti
menginjakkan kakinya di lokasi penelitian yang dipilihnya, maka pada detik itu
juga sudah harus mulai mendeskripsikan secara kritis apa saja yang dilihat dan
dirasakannya; mulai dari jalan yang berkelok, misalnya, tanah tandus atau
kering, bahkan yang lebih dalam ke hal-hal yang dirasakan, seperti hembusan
angin, ranting-ranting yang berjatuhan dan lain-lain.
Dan yang tak kalah
pentingnya, mendeskripsikan pola tingkah (pola hidup) masayarakat setempat,
hingga pada hal-hal yang privative (jika diijinkan) dan terkadang
malu-malu mereka sampaikan. Bahkan peneliti harus terus belajar mendisiplinkan
diri, menuangkan deskripsi terhadap setiap perkembangan permenit, perjam yang
berlangsung di lapangan penelitian.
Melalui metode
etnografi, peneliti seharusnya bergaul lebih intim dan lebih dalam dengan
masyarakat. Selama penelitian berlangsung, peneliti sebaiknya tinggal secara formal
di salah satu rumah penduduk, biasanya kepala dusun atau RT/RW dan tokoh
masyarakat lainnya yang sekaligus akan menjadi key informan
penelitian.
Selebihnya (non
formal) berbaurlah di rumah-rumah penduduk lainnya untuk mengakses informasi
dan merasakan secara langsung dialektika penduduk sekitar. Sebab seorang
etnografer (peneliti) seharusnya menjelma seperti sabut kelapa di lapangan
penlitian.
Ketika ia
ditenggelamkan ke dalam air, maka tubuhnya yang awalnya ringan, tiba-tiba akan
menjadi berat lantaran mengisap banyak air yang ada di sekitarnya, meskipun ia
tak akan pernah tenggelam, tetapi mengapung dan mengalir perlahan bersama air.
Peneliti juga
sebaiknya mengupayakan, setiap kali tiba di lokasi penelitian, bawalah
oleh-oleh ala kadarnya untuk beberapa informan, terutama pemilik rumah dimana
peneliti in the cost sementara, termasuk beberapa pemuda yang
berpengaruh dan memiliki akses data yang kuat dan lain-lain.
Dengan demikian,
situasi-situasi semacam ini akan sangat mempermudah peneliti dalam menjangkau
subyek penelitiannya, sebab telah menjadi satu, lebur, sehingga akan
dapat pula lebih jauh dan dalam bergaul dengan penduduk (subjek) penelitian
setiap saat. Dengan begitu, peneliti dapat mengamati ekspresi mereka
secara lebih dekat, lebih detil, baik dalam susana-suasana formal, maupun
(terutama) dalam suasana-suasana non formal.
Selain itu peneliti
juga harus melakukan pengamatan untuk menampung pandangan masayarakat setempat
(native’s point of view) mengenai apa yang menjadi subjek kajian peneliti,
serta bagaimana mereka menerapkan dan menghayati hal tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Di sinilah peneliti
dapat menemukan dan mendapatkan pandangan-pandangan, serta tafsir penduduk (native),
tentang apa saja yang mereka pahami, hubungannya dengan subjek penelitian si
peneliti. Pandangan seperti inilah yang semestinya mendapat porsi utama dalam
penelitian yang menggunakan metode etnografi (konsep emik). Sedang konsep etic
yang cenderung berasal dari tafsir peneliti sendiri, layaknya hanyalah
sebagai pendukung atau back up dari pandangan native dalam
konsep emic tersebut.
Meskipun di sisi
lain, peneliti mestinya juga mampu bersikap kritis dalam konteks kehadirannya
sebagai peneliti (etic). Sehingga dengan menyandingkan kedua metode
ini, dapatlah diraih seabrek data yang komprehensif, sebab diambil dari dua
sisi yang saling berdialektika di dalam penelitian tersebut.
d.
Eksekusi Hasil Penelitian
Setelah mendapatkan
semua data-data penting dari lapangan yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan, terutama pandangan dan berbagai ekspresi masyarakat yang muncul di
lapangan, termasuk hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan subjek
kajian peneliti, letakkanlah data itu ke dalam sebuah analisis yang diinginkan,
baik yang berhubungan dengan landasan teori yang digunakan, maupun dalam
konteks keinginan tertentu terhadap hasil akhir penelitian tersebut.
Atau bisa juga tak
meletakkannya ke dalam kerangka teori apapun, tergantung tujuan suatu
penelitian untuk apa dilakukan. Selebihnya, barulah kemudian data-data sekunder
digunakan (buku-buku dan referensi lainnya) dalam rangka mem-back up
data primer yang menjadi oleh-oleh istimewa dari lapangan penelitian, seperti
beratus halaman deskripsi dan catatan-catatan harian dari buku diari dan
jurnal, yang diraih selama berada di lapangan penelitian.
Tentu, dari metode
etnografi semacam ini, diharapkan dapat melahirkan sebuah hasil penelitian yang
baik, yang juga lahir bersamaan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya.
atau silahkan kunjungi:
https://theperspectiveofanthropology.wordpress.com/2011/07/22/metode-etnografi-
dalam-antropologi/
Komentar
Posting Komentar